Kamis, 08 Maret 2012

PENGARUH KONSENTRASI HIDROGEN PEROKSIDA (H2O2) DAN KONSENTRASI TAPIOKA TERHADAP SIFAT FISIK KERTAS BERBASIS AMPAS RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii


(Skripsi)










Oleh
Dessy Sintaria
















FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2012










I. PENDAHULUAN



1.1. Latar Belakang dan Masalah


Kertas merupakan salah satu produk turunan selulosa yang memegang peranan penting dalam kehidupan sehari-hari. Kebutuhan pulp dan kertas Indonesia terus mengalami peningkatan seiring dengan pertumbuhan penduduk dan kemajuan aktivitas yang berhubungan dengan pemakaian kertas (Anonim, 2008).

Industri kertas merupakan salah satu jenis industri terbesar di dunia dengan menghasilkan 278 juta ton kertas dan karton, dan menghabiskan 670 juta ton kayu. Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dunia, kebutuhan akan kertas juga semakin meningkat. Pertumbuhan dalam dekade berikutnya diperkirakan antara 2% hingga 3,5% per tahun, sehingga membutuhkan kenaikan kayu log yang dihasilkan dari lahan hutan seluas 1 sampai 2 juta hektar setiap tahun. Industri kertas, selain membutuhkan kayu sebagai bahan baku utama, juga tergolong industri dengan tingkat konsumsi energi tinggi dan menghasilkan limbah yang cukup membahayakan bagi lingkungan (Ria, 2011). Oleh karena itu, pemerintah perlu mencari alternatif bahan baku lain yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pulp dan kertas selain kayu.

Salah satu cara untuk mengatasi kelangkaan dan semakin mahalnya bahan baku kertas yaitu dengan pemanfaatan rumput laut. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, Indonesia memiliki luas area untuk kegiatan budidaya rumput laut mencapai 1,1 juta ha yang sampai saat ini belum digarap dengan maksimal. Rumput laut Eucheuma cottonii merupakan jenis rumput laut yang paling banyak dibudidayakan di wilayah perairan Indonesia.

Beberapa kelebihan yang dimiliki rumput laut sebagai bahan dasar kertas adalah pertumbuhan massa rumput laut yang sangat tinggi, yakni 5-10% sehari. Dengan masa panen 70 hari, pertumbuhan tersebut sangat pesat dibandingkan dengan pohon sebagai bahan baku kertas konvensional, yang baru dapat dipanen minimal 7 tahun bahkan 15 tahun pada negara-negara subtropis. Untuk negara tropis seperti Indonesia, rumput laut dapat dipanen sepanjang tahun, sedangkan negara beriklim subtropis, panen rumput laut hanya dapat dilakukan selama 2 kali dalam setahun. (Ria, 2011).

Anonim (2008) menyatakan bahwa kelebihan lain dari kertas berbahan dasar rumput laut adalah minimnya komponen racun yang ada pada kertas. Berbeda dengan kertas konvensional yang menggunakan beberapa jenis bahan kimia dalam proses produksi, pengolahan kertas dari rumput laut dapat menggunakan pemutih non klorin serta pemilihan bahan kimia yang relatif aman. Dengan demikian proses ini aman bagi lingkungan dan tidak berdampak negatif bagi kesehatan. Kondisi ini berpeluang menjadikan kertas berbahan dasar rumput laut sebagai bahan kemasan untuk produk pangan.

Pada proses pembuatan pulp akan dihasilkan pulp yang berwarna gelap akibat proses pulping. Untuk menghilangkan sisa warna pada bahan dasar rumput laut dapat digunakan dengan cara oksidasi yang diikuti dengan reaksi pemutihan (bleaching). Menurut Fuadi (2008) salah satu oksidator yang dapat menghilangkan warna adalah hidrogen peroksida (H2O2). Selain itu pada proses pembuatan kertas diperlukan penambahan tapioka. Tapioka berfungsi untuk menutupi rongga - rongga yang kosong sehingga bisa meningkatkan opasitas kertas. Pada penelitian ini bahan pengisi yang digunakan adalah tapioka (pati singkong). Tapioka ini terbukti efektif untuk menghasilkan kertas dengan sifat fisik yang baik. Penggunaan teknik kombinasi ini pun diharapkan dapat meningkatkan mutu kertas dan menjadi solusi bagi deforestasi hutan Indonesia.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan konsentrasi H2O2 dan konsentrasi tapioka yang tepat untuk menghasilkan sifat fisik ketas berbasis ampas rumput laut spesies Eucheuma cottonii terbaik.

1.3 Kerangka Pemikiran

Riyanto et al. (1998) menyatakan bahwa dalam pengolahan rumput laut menjadi agar-agar kertas banyak dihasilkan ampas yang tidak terpakai dengan komponen selulosa sebesar 16-20%, hemiselulosa 18-22%, lignin 7-8%.

Keunggulan rumput laut bila dibandingkan dengan kayu adalah mengandung serat agalosa selebar 3-7 mikrometer dan panjang 0,5-1 milimeter, dengan fleksibilitas tinggi dan mengandung substansi perekat cair. Dari penelitian mikroskop terlihat ukuran dan bentuk serat agalosa lebih homogen, tidak seperti serat selulosa yang bulat, lonjong, atau pipih. Homogenitas ini yang membuat kualitas kertas lebih baik, lebih fleksibel, lebih halus (Ria, 2011).

Menurut Panshin (1975), pulp hasil pemasakan masih berwarna gelap sehingga perlu dilakukan pemutihan untuk menghilangkan sisa lignin yaitu dengan cara oksidasi. Menurut Fuadi (2008), H2O2 merupakan bahan pemutih yang bisa digunakan untuk proses pemutihan dengan konsep totally chlorine free (TCF). H2O2 mampu memutihkan pulp hingga mendekati 90% dengan efek degradasi selulosa yang cukup kecil. Ditinjau dari sisi teknis dan ekonomi, H2O2 layak dipertimbangkan untuk menggantikan ClO2, sehingga efek negatif terhadap lingkungan bisa diminimalisir.

Penelitian yang telah dilakukan Retnowati (2008) menunjukkan bahwa perlakuan pemutihan eceng gondok dengan katalisator natrium bikarbonat terbaik dengan menggunakan H2O2 adalah pada konsentrasi 4 % dengan kadar lignin awal 9,75% diperoleh warna putih yang cerah serta mempunyai kuat tarik cukup besar, yaitu berkisar pada 4,7 N/cm2. Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Edahwati (2009) pada proses deinking kertas koran bekas dengan menggunakan H2O2 menyatakan bahwa pada penggunaan H2O2 dengan konsentrasi 3 % dan lama waktu operasi 95 menit menghasilkan nilai brightness 58,75%. Selain itu Fuadi (2008) menunjukkan bahwa perlakuan pemutihan pulp berbasis pohon akasia terbaik dengan menggunakan H2O2 adalah pada konsentrasi 16%. Kandungan lignin pohon akasia pada penelitian yang dilakukan oleh Sutiya (2002) adalah sebesar 29,28%.
Menurut Erythrina (2010) pada proses pembuatan lembaran kertas, sifat kertas dapat diperbaiki dengan penambahan zat-zat lain seperti pigmen, pengisi dan pewarna. Pigmen ini berfungsi untuk mengisi pori-pori permukaan kertas sehingga permukaan menjadi rata. Untuk pengisi yang digunakan adalah tapioka, tapioka termodifikasi, PVA, dan CMC. Secara umum tapioka digunakan untuk meningkatkan kehalusan permukaan kertas dan opasitas, sehingga kertas tidak tembus pandang. Penambahan tapioka dapat pula meningkatkan kecerahan (brighteness), kemampuan daya cetak lembaran dan ketahanan lipat. Penambahan tapioka dilakukan pada saat pembentukan kertas baik dalam keadaaan basah maupun dalam keadaan kering untuk memperbaiki sifat fisik dan sifat optik kertas (Casey, 1981).

Pada panelitian ini akan digunakan jenis bahan tambahan yaitu tapioka. Tapioka berfungsi untuk menutup pori-pori kertas yang tidak terisi serat sehingga tidak mudah dipenetrasi oleh air. Selain untuk sizing, tapioka juga digunakan untuk menggabungkan lapisan-lapisan kertas dan menjamin ikatan antar lapisan kertas.

Pemakaian tapioka pada pembuatan kertas berkisar antara 2-3% dari berat pulp kering oven, serta tergantung pada jenis dan prosentase bahan penolong lainnya. (Casey 1980). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Roliadi et al. (2009), lembaran karton seni dibentuk dari campuran pulp TKKS 30-50%, sludge industri kertas 35-50%, dan pulp batang pisang (0-30%), berikut aditif (kaolin 5%, alum 2%, tapioka 4%, dan rosin size 2%) menghasilkan sifat fisik/ kekuatan karton seni yang lebih baik/ tinggi daripada sifat karton produksi industri rakyat (dari campuran sludge 50%, kertas bekas 50%, tanpa aditif).
Masalah yang ditemukan pada penelitian ini yaitu belum didapatkannya konsentrasi pemutih hidrogen peroksida (H2O2) dan konsentrasi tapioka yang tepat untuk menghasilkan sifat fisik kertas berbasis ampas rumput laut spesies Eucheuma cottonii terbaik. Pada penelitian ini digunakan bahan pemutih H2O2 dengan konsentrasi 0% (v/v), 2% (v/v), 4% (v/v), dan 6% (v/v) dan penggunaan konsentrasi tapioka 2% (b/b), 4% (b/b), dan 6% (b/b). Dari perlakuan penambahan konsentrasi tapioka dan hidrogen peroksida maupun interaksi keduanya diharapkan dapat menghasilkan rendemen, derajat putih dan daya regang lembaran kertas berbasis ampas rumput laut spesies Eucheuma cottonii terbaik.

1.4 Hipotesis


Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Terdapat konsentrasi hidrogen peroksida (H2O2) yang tepat untuk menghasilkan rendemen, derajat putih dan daya regang lembaran kertas berbasis ampas rumput laut spesies Eucheuma cottonii terbaik.
2. Terdapat konsentrasi tapioka yang tepat untuk menghasilkan rendemen, derajat putih dan daya regang lembaran kertas berbasis ampas rumput laut spesies Eucheuma cottonii terbaik.
3. Terdapat interaksi antara konsentrasi hidrogen peroksida (H2O2) dan konsentrasi tapioka yang tepat untuk menghasilkan rendemen, derajat putih dan daya regang lembaran kertas berbasis rumput laut spesies Eucheuma cottonii terbaik.






II. TINJAUAN PUSTAKA



2.1 Kertas


Menurut Departemen Perindustrian (1982), kertas merupakan lembaran yang terdiri dai serat-serat selulosa yang saling jalin-menjalin dan dihasilkan dari kompresi serat dari pulp. Serat yang digunakan biasanya adalah alami, dan mengandung selulosa dan hemiselulosa. Selain itu menurut Sudaryato (2010), kertas adalah barang baru ciptaan manusia berwujud lembaran-lembaran tipis yang dapat dirobek, digulung, dilipat, direkat, dicoret mempunyai sifat yang berbeda dari bahan bakunya tumbuh-tumbuhan. Kertas dibuat unutk memenuhi kebutuhan hidup yang sangat beragam.

Menurut Stephenson (1952) dalam Palupi, N, (1995) industri kertas dan kertas karton pada dasarnya melibatkan beberapa tahapan proses yaitu pembuatan pulp dari bahan baku berselulosa, penggilingan dan penyaringan pulp serta pembuatan kertas dan penyempurnaannya. Pembuatan pulp pada intinya memberikan perlakuan pada bahan baku berserat secara mekanik, kimia atau kombinasi dari keduanya sehingga setiap serat dapat dipisahlean dari lignin, zat ekstraktif dan komponen kimia lainnya dari bahan berlignoselulosa. Karakteristik akhir kertas yang dihasilkan akan bergantung pada kualitas pulp yang ditentukan oleh banyak faktor seperti pemilihan bahan baku dan tipe proses yang digunakan pada pembuatan pulp.

2.2 Rumput Laut Eucheuma cottoni


Rumput laut Eucheuma cottonii mempunyai ciri-ciri yaitu thallus silindris, percabangan thallus berujung runcing atau tumpul, ditumbuhi nodulus (tonjolan-tonjolan), berwarna coklat kemerahan, cartilageneus (menyerupai tulang rawan atau muda), percabangan bersifat alternates (berseling), tidak teratur serta dapat bersifat dichotomus (percabangan dua-dua) atau trichotomus (sistem percabangan tiga-tiga). Rumput laut Eucheuma cottonii memerlukan sinar matahari untuk proses fotosintesis. Oleh karena itu, rumput laut jenis ini hanya mungkin dapat hidup pada lapisan fotik, yaitu pada kedalaman sejauh sinar matahari masih mampu mencapainya. Di alam, jenis ini biasanya hidup berkumpul dalam satu komunitas atau koloni (Jana-Anggadiredjo, 2006). Berikut adalah klasifikasi dari Eucheuma cottoni.

Divisi : Rhodophyta
Kelas : Rhodophyceae
Ordo : Gigartinales
Famili : Solieriaceae
Genus : Eucheuma
Spesies: Eucheuma cottonii

Rumput laut dapat digunakan sebagai bahan baku pada pengolahan pulp. Eucheuma cottonii mempunyai cirri-ciri morfologis berthalus dan bercabang-cabang yang berbentuk bulat atau gepeng. Waktu hidup berwarna hijau atau kuning kemerahan dan bila kering warnanya kuning kecoklatan dan mempunyai duri-duri (Herminiati, 2006).

Rumput laut Eucheuma cottonii mengandung karbohidrat, protein, sedikit lemak, dan abu yang sebagian besar merupakan senyawa garam seperti natrium dan kalium. Selain itu juga merupakan sumber vitamin, seperti vitamin A, B1, B2, B6, B12, dan vitamin C, serta mengandung mineral seperti K, Ca, P, Na, Fe, dan Iodium (Istini, 1986). Komposisi kimia rumput laut Eucheuma cottoni dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi kimia rumput laut Eucheuma cottonii
Komposisi Jumlah
Air 12,90 %
Protein 5,12 %
Lemak 0,13 %
Karbohidrat 13,38 %
Serat Kasar 1,39 %
Abu 14,21 %
Ca 52,82 ppm
Fe 0,11 ppm
Riboflavin 2,26 mg/100 g
Vitamin C 4,00 mg/100 g
Karagenan 65,75 %

Sumber: Istini, 1986




2.3. Pulp

Pulp merupakan bahan baku pembuatan kertas dan senyawa-senyawa kimia turunan selulosa. Pulp dapat dibuat dari berbagai jenis kayu, bambu, dan rumput-rumputan. Pulp adalah hasil pemisahan selulosa dari bahan baku berserat (kayu maupun non kayu) melalui berbagai proses pembuatan baik secara mekanis, semikimia, maupun kimia. Felton (1980), mengatakan bahwa pulp yang diperoleh dari pendaurulangan kertas atau koran bekas disebut pulp serat sekunder.
Menurut proses pembuatannya pulp dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu :
a. Proses Mekanis
Proses pembuatan pulp yang seluruhnya menggunakan proses mekanis, misalnya dengan grinding dan milling. Pulp yang dihasilkan dapat digolongkan menjadi dua mechanical pulp unbleached dan bleached.
b. Proses Kimia
Bahan baku setelah ukurannya dikurangi, dimasak dalam suatu tempat (reaktor) yang bertekanan dan dicampur dengan bahan kimia. Setelah proses pemutihan akan diperoleh dua macam pulp yaitu chemical pulp bleached (pulp putih) dan unbleached (pulp coklat).
c. Proses Semi Kimia
Proses pembuatan pulp yang melalui dua tahap proses yaitu proses mekanis dan kimia (Biro Data dan Analisa, Departemen Perindustrian, 1982)

Untuk memperoleh pulp dengan kandungan selulosa tinggi, selulosa harus dipisahkan dari komponen lignoselulosa lainnya. Jika dibandingkan dengan hemiselulosa, selulosa relatif mempunyai daya tahan yang tinggi terhadap asam, karena selulosa mempunyai struktur kristal dan ikatan hidrogen yang kuat. Untuk memisahkan selulosa dari hemiselulosa dan lignin, ada dua proses utama yang harus dilakukan yaitu hidrolisis hemiselulosa dan delignifikasi untuk melarutkan lignin.

2.4 Bahan Pengisi Kertas


Secara umum, bahan pendukung memberi pengaruh pada kualitas kertas. Beberapa bahan pendukung berpengaruh langsung pada sifat-sifat kertas. Bahan-bahan tersebut antara lain sejumlah bahan-bahan non serat, yaitu bahan perekat (Sizing Agent), bahan pengisi (filler), dan bahan pewarna. Bahan pengisi adalah bahan yang dicampurkan ke dalam campuran bahan kertas yang bertujuan untuk meningkatkan mutu kertas.

Syarat-syarat bahan pengisi adalah dalam keadaan baik dan bersih (murni), kadar besi yang rendah (untuk menghindari perubahan warna kertas), mampu memberi warna dan kecerahan yang baik, tidak bereaksi terhadap bahan lain yang ada dalam pembuatan pulp.

Bahan pengisi berfungsi untuk memperbaiki kerataan permukaan kertas, mengatur berat dasar kertas yang akan dibuat, memperbaiki sifat daya cetak (printability), meningkatkan opasitas kertas, menambah derajat putih kertas (brightness), mengurangi daya tembus tinta, dan mempermudah kertas menerima tinta. Adapun efek negatif dari penggunaan bahan pengisi yang berlebihan, adalah akan mengurangi kekuatan kertas, sehingga kertas menjadi rapuh, kertas akan mudah mengalami pendebuan serta pecah ataupun retak, serta kertas akan menjadi kaku (Anonim, 2007).

2.4.1 Tapioka

Tapioka atau amilum adalah karbohidrat kompleks yang tidak larut dalam air, berwujud bubuk putih, tawar dan tidak berbau. Tapioka merupakan bahan utama yang dihasilkan oleh tumbuhan untuk menyimpan kelebihan glukosa (sebagai produk fotosintesis) dalam jangka panjang. Hewan dan manusia juga menjadikan tapioka sebagai sumber energi yang penting.

Tapioka atau pati singkong merupakan salah satu jenis karbihidrat yang tersusun dari amilosa dan amilopektin, dalam komposisi yang berbeda-beda. Amilosa memberikan sifat keras (pera) sedangkan amilopektin menyebabkan sifat lengket (Winarno,

Tapioka dan juga produk turunannya merupakan bahan yang multiguna dan banyak digunakan pada berbagai industri antara lain pada minuman dan confectionary, makanan yang diproses, kertas, makanan ternak, farmasi dan bahan kimia serta industri non pangan seperti tekstil, detergent, kemasan dan sebagainya. Kegunaan tapioka dan turunannya pada industri minuman dan confectionery memiliki persentase paling besar yaitu 29%, industri makanan yang diproses dan industri kertas masing-masing sebanyak 28%, industri farmasi dan bahan kimia 10%, industri non pangan 4% dan makanan ternak sebanyak 1%. Di dalam industri non pangan seperti tekstil dan kemasan, tapioka digunakan sebagai tapioka (Nopianto, 2009).
2.5 Pemutihan Pulp

Menurut Panshin (1957), pulp hasil pemasakan masih kelihatan berwarna gelap. Hal ini disebabkan oleh masih adanya sejumlah zat-zat non selulosa (lignin, hemiselulosa, bermacam-macam zat ekstraktif, tanin dan resin). Sedangkan Calkin (1957) mengatakan bahwa, pemisahan kotoran hanya dapat dilakukan dengan cara pemutihan. Oleh karena itu dengan dilakukannya proses pemutihan pada pulp dapat meningkatkan mutu kertas yang dihasilkan.

Proses pemutihan ialah penghilangan lignin dan zat-zat warna untuk memperoleh pulp putih. Penghilangan lignin dan zat warna ini biasanya dilakukan dengan cara oksidasi, yaitu mereaksikan pulp yang belum diputihkan dengan zat kimia sebagai zat pemutih. Pada kertas koran masih terdapat lignin. Lignin tidak dapat dihilangkan seluruhnya pada saat pemasakan, karena akan menghasilkan pulp dengan sifat fisik rendah (Casey, 1981). Casey (1952), menyatakan bahwa tujuan utama dari pemutihan adalah menghasilkan pulp putih dengan warna yang stabil dan diperoleh dengan biaya yang layak serta akibat kerusakan fisik dan kimia pulp seminimal mungkin. Kondisi umum yang penting dalam proses pemutihan pulp menurut Siagian (1989), adalah jumlah bahan pemutih, konsistensi pemutihan, waktu dan suhu pemutihan.

Terdapat dua reaksi selama pemutihan, yaitu melarutkan dan menghilangkan lignin, dan mengubah lignin menjadi komponen yang tidak berwarna. Pemutihan pulp kimia tanpa melarutkan sisa lignin tidak akan berhasil. Jadi dalam pemutihan pulp kimia lignin harus dilarutkan atau dihilangkan untuk mencapai derajat kecerahan yang diinginkan.
Komposisi kimia, terutama lignin sangat mempengaruhi pemrosesan pulp lebih lanjut (misalnya proses pemutihan). Banyaknya lignin yang tersisa merupakan kriteria penentuan sebagai kertas kualitas yang tidak diputihkan atau untuk kertas kualitas cetak yang diputihkan (Fengel dan Wegener, 1989). Pulp yang tidak diputihkan mempunyai warna gelap (daya terputihkan rendah), yang terutama disebabkan oleh gugus kromofor dalam lignin yang tersisa yang dibentuk selama pemasakan dengan alkali. Bagian-bagian lignin yang terendapkan kembali selama akhir pemasakan alkalis ikut berpengaruh kuat pada harga derajat putih yang rendah (Salmen dan Olsson, 1998 dalam Hidayati, 2000).

2.5.1 Hidrogen Peroksida (H2O2)

Hidrogen peroksida dengan rumus kimia H2O2 merupakan bahan kimia anorganik yang memiliki sifat oksidator kuat. H2O2 tidak berwarna dan memiliki bau yang khas agak keasaman. H2O2 larut dengan sangat baik dalam air. Di alam kondisi normal hidrogen peroksida sangat stabil, dengan laju dekomposisi yang sangat rendah. Hidrogen peroksida banyak digunakan sebagai zat pengelantang atau bleaching agent, pada industri pulp, kertas dan tekstil.

Dence and Reeve (1996) dalam Fuadi (2008) menyatakan bahwa hidrogen peroksida termasuk zat oksidator yang bisa digunakan sebagai pemutih pulp yang ramah lingkungan. Di samping itu, hidrogen peroksida juga mempunyai beberapa kelebihan antara lain pulp yang diputihkan mempunyai ketahanan yang tinggi serta penurunan kekuatan serat sangat kecil. Pada kondisi asam, hidrogen peroksida sangat stabil, pada kondisi basa mudah terurai. Peruraian hidrogen peroksida juga dipercepat oleh naiknya suhu. Zat reaktif dalam sistem pemutihan dengan hidrogen peroksida dalam suasana basa adalah perhydroxyl anion (HOO-)

2.6. Selulosa

Selulosa merupakan komponen terpenting yang terbentuk dari gabungan unit-unit glukosa yang diproduksi oleh pohon melalui proses fotosintesa dengan bantuan sinar matahari. Glukosa itu sendiri dibentuk dengan bahan dasar air dan karbon. Unit - unit glukosa yang dihasilkan bergandengan satu dengan lainnya melalui ikatan polimer yang sangat panjang dan teratur, yang akhirnya membentuk selulosa. Satu unit selulosa bisa mimilki derajat polimerisasi sebanyak 30000. Salah satu contoh selulosa yang sangat sering kita jumpai, yaitu kapas atau katun, terdiri atas 99% selulosa murni, (Erwinsyah, 2008), sedangkan menurut Sjostrom (1995), selulosa merupakan homo polisakarida yang tersusun atas unit ß- D- glukopironosa yang terikat satu sama lain dengan ikatan glikosida (Gambar 1).





Gambar 1. Selulosa
Sumber : Casey, 1960

Fengel dan Wegener (1995) menyatakan bahwa selulosa merupakan bahan dasar dari berbagai jenis produk seperti kertas, film, serat, perekat dan sebagainya.selulosa, pada proses pulping diisolasi dari kayu dengan menggunakan berbagai macam bahan kimia pemasak bersifat asam, basa, netral pada tekanan, suhu dan waktu tertetu sehingga menghasilkan pulp dengan berbagai mutu.
Selulosa diinginkan dalam pembuatan kertas karena :
1. Jumlahnya banyak, melengkapi, mudah dipanen serta diangkut sehingga bahan ini memiliki nilai ekonomis yang rendah.
2. Hampir selalu terdapat dalam bentuk berserat yang memiliki ciri tingkat ketahanan serat yang tinggi.
3. Memiliki daya ikat yang tinggi terhadap air, yang memfasilitasi persiapan mekanis dari serat dan pengikatan antar serat saat campuran dikeringkan.
4. Memiliki warna yang putih alami.
5. Tidak larut dalam air dan pelarut organik netral.
6. Resistan terhadap banyak senyawa kimia yang umum digunakan dalam pemisahan dan pemurnian (Mac Donald dan Franklin, 1969).

2.7 Hemiselulosa

Komponen penyusun utama kayu lainnya, yaitu hemiselulosa. Hemiselulosa adalah polisakarida non selulosa yang pokok, terdapat dalam kayu dengan berat molekul 4000–15.000 (Soenardi, 1976), sedangkan Sjostorm (1981) menyatakan bahwa hemiselulosa merupakan heteropolisakarida yang tergolong polimer organik dan relatif mudah dioksidasi oleh asam menjadi komponen - komponen monomer yang terdiri dari D-glukosa, D-manosa, D-xylosa, L-arabinosa, dan sejumlah kecil L-ramnosa disertai oleh asam D-glukoronat, asam 4-O-metil-D-glukoronat dan asam D-galakturonat.
Menurut Erwinsyah (2008) hemiselulosa juga terbentuk melalui proses fotosintesis dan terdiri atas gula-gula sederhana, seperti galaktosa, manosa, arabinosa dan lain-lain. Ikatan unit-unit molekul polisakarida ini tidak sepanjang ikatan polimer selulosa. Hemiselulosa hanya memiliki beberapa ratus derajat polimerisasi, sedangkan menurut Anonim (2008) rantai selulosa yang lebih pendek tersebut terdapat pada hemiselulosa (glukosa, galaktosa, manosa, xylosa, arabinosa). Karena komponen hemiselulosa yang memiliki sifat seperti selulosa adalah glukosa maka hemiselulosa lebih dahulu terdegradasi dibandingkan dengan selulosa.

Hemiselulosa bersifat non-kristalin dan tidak bersifat serat, serta mudah mengembang. Sehingga hemiselulosa sangat berpengaruh terhadap terbentuknya jalinan antarserat pada saat pembentukkan lembaran, lebih mudah larut dalam pelarut alkali dan lebih mudah dihidrolisis dengan asam (Casey, 1960).

Tabel 2. Perbandingan sifat kimia selulosa, hemiselulosa, dan lignin
Selulosa Hemiselulosa Lignin
a. Tidak larut dalam air

b. Larut dalam larutan pekat asam mineral kuat, seperti larutan 72% H2SO4, 37% HCl, dan 85% H3PO4

c. Terhidrolisis lebih cepat pada temperatur tinggi, tidak larut dalam asam organik

d. Tidak larut dalam larutan alkali hidroksida. a. Sedikit larut dalam air

b. Larut dan terhidrolisis dalam asam mineral




c. Larut dan terhidrolisis
dalam asam organik pekat


d. Larut dalam larutan alkali a. Tidak larut dalam air

b. Tidak larut dalam asam mineral kuat




c. Larut parsial dalam berbagai senyawa organik teroksigenasi


d. Larut dalam larutan alkali encer

2.8. Lignin

Menurut Nugroho dan Rusmanto (1999) lignin merupakan suatu polimer yang berbentuk tiga dimensi dan mempunyai basis unit propilbenzen serta gugus fungsional (hidroksil, karbonil, metoksil). Berbeda dengan selulosa yang terutama terbentuk dari gugus karbohidrat, lignin terbentuk dari gugus aromatik yang saling dihubungkan dengan rantai alifatik, yang terdiri dari 2-3 karbon . Pada proses pirolisa lignin, dihasilkan senyawa kimia aromatis yang berupa fenol, terutama kresol (Anonim, 2007). Ropiah (dalam Nugaraha 2003) menyebutkan bahwa unit dasar penyusun lignin adalah koniferil alkohol, sinapil alkohol dan para kuramil alkohol (gambar 2)










Gambar 2. Unit dasar penyusun lignin
Sumber : Nugraha, 2003


Lignin merupakan zat yang keras, lengket, kaku dan mudah mengalami oksidasi. Dibutuhkan pada kayu dengan tujuan kontruksi karena dapat meningkatkan kekerasan/kekuatan kayu, tetapi tidak dibutuhkan dalam industri kertas karena lignin sangat sukar dibuang dan membuat kertas jadi kecoklatan/coklat karena sifat aslinya dan pengaruh oksidasi ( Batubara, 2002).
Lignin mempunyai hubungan yang sangat intim dengan selulosa dan hemiselulosa, sehingga lignin dapat diibaratkan sebagai pengikat atau berasosiasi dengan kedua komponen kayu lainnya, sehingga suatu pohon bisa berdiri tegak. Lignin sangat stabil keberadaannya dan sulit untuk diisolasi. Saat ini banyak industri menggunakan lignin sebagai bahan perekat (Erwinsyah, 2008).















III. BAHAN DAN METODE



3.1 Waktu dan Tempat


Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biokimia Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung, Labaratorium Analisis Kimia Politeknik Negeri Lampung, dan Laboratorium Kimia, Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung pada bulan November sampai Desember 2011.

3.2 Alat dan Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah rumput laut Euchema cottoni kering, asam asetat, H2SO4, aquades, H2O2, CaCO3, tapioka (pati ubi kayu), kain saring, alumunium foil, serta bahan analisis lainnya.

Alat yang digunakan adalah alat-alat gelas, timbangan, cawan porselin, desikator, corong, oven, shaker waterbath, termometer, hot plate, serta alat-alat analisis lainnya.

3.3 Metode Penelitian

Perlakuan disusun secara faktorial dalam Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) dengan tiga kali ulangan. Penelitian dilakukan meggunakan dua faktor, yaitu faktor pertama adalah konsentrasi hidrogen peroksida (H) yang terdiri dari empat taraf yaitu 0% (H0), 2% (H1), 4% (H2), dan 6% (H3). Sedangkan faktor kedua adalah konsentrasi tapioka (P) yang terdiri dari tiga taraf yaitu 2% (P1), 4% (P2), dan 6% (P3).

Kesamaan ragam data diuji dengan uji Bartlett dan kemenambahan data diuji dengan Uji Tukey. Data hasil pengamatan sifat fisika pulp berbasis ampas rumput laut (Eucheuma cottonii) dianalisis dengan sidik ragam untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan antar perlakuan. Data diolah lebih lanjut dengan uji BNJ 1% dan 5%.

3.4 Pelaksanaan Penelitian

3.4.1 Pembuatan dan karakterisasi ampas rumput laut


Rumput laut Euchema cottoni dilakukan ekstraksi untuk memperoleh ampas rumput laut. Diagram alir ekstraksi ampas dapat dilihat pada Gambar 3.


















Gambar 3. Diagram alir ekstraksi ampas rumput laut


Karakterisasi ampas rumput laut dilakukan terhadap ampas rumput laut Eucheuma cottonii hasil ekstraksi yang dikemudian di analisis sifat kimianya, meliputi kadar air, selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Dan karakterisasi pulp acetosolv dilakukan terhadap pulp hasil pemasakan dan pemutihan untuk mendapatkan konsentrasi H2O2 dan konsentrasi tapioka yang menghasilkan rendemen, derajat putih dan daya regang lembaran kertas terbaik

3.4.2 Pulp acetosolv


Pulp acetosolv dibuat dengan kondisi pemasakan menggunakan perbandingan larutan pemasak : ampas rumput laut (2:1) dimana konsentrasi larutan pemasak asam asetat 80% pada suhu pemasakan 85oC selama 1 jam. Diagram alir pembuatan pulp acetosolv dapat dilihat pada gambar 4.


















Gambar 4. Diagram alir pembuatan pulp acetosolv
Sumber : Ferdiyanto (2011) yang telah dimodifikasi dengan perbandingan larutan
pemasak 2:1


3.4.3 Pemutihan dan pembuatan lembaran


Pulp ampas rumput laut hasil pemasakan secara acetosolv dilakukan pemutihan dengan menggunakan perlakuan perbedaan konsentrasi hidrogen peroksida yaitu 0% (v/v), 2% (v/v), 4% (v/v), dan 6% (v/v). Pulp dipanaskan dengan shaker waterbath pada suhu 85o C selama 1 jam. Kemudian dilakukan pencucian dan pengeringan pada suhu kamar. Pulp hasil pemasakan selanjutnya dicuci dengan mengunakan air dengan suhu 800C, kemudian dilakukan penyaringan, dan setelah itu dikeringkan suhu kamar. Kemudian ditambahkan perlakuan penambahan tapioka 2% (b/b), 4% (b/b) dan 6% (b/b) setelah itu dilakukan pembuatan lembaran kertas. Diagram alir pembuatan pulp dapat dilihat pada Gambar 5.






























Gambar 5. Diagram alir pembuatan pulp bahan baku rumput laut
Sumber : Hidayati (2000), yang telah dimodifikasi dengan penambahan tapioka

3.5. Pengamatan

Pulp yang diperoleh kemudian diuji rendemen dan sifat fisiknya. Sifat fisik yang diuji meliputi rendemen (Datta, 1981), sifat optis (derajat putih) (SNI 14-0438-1989) dan Daya Regang (ASTM, 1983).







3.5.1. Rendemen pulp

Pulp hasil pemasakan ditimbang dalam keadaan basah (A gram), kemudian di ambil contoh pulp sebanyak B gram dan dikeringkan dalam oven suhu 102oC selama 3 jam, dinginkan dalam desikator kemudian dimasukkan kembali ke dalam oven suhu 102oC selama 30 menit, dinginkan dalam desikator dan ulangi pengeringan dalam oven sampai bobotnya konstan (selisih penimbangan  0,02 mg), dan diperoleh C gram. Rendemen pulp dapat dihitung dengan rumus :

C/B x A
Rendemen (%) = x 100
Y

Dimana :
A = Bobot total pulp basah
B = Bobot contoh pulp basah
C = Bobot contoh pulp kering
Y = Bobot pulp sebelum perlakuan (kering)


3.5.2 Sifat optis/derajat putih

Derajat keputihan adalah perbandingan antara intensitas cahaya derajat biru dengan panjang gelombang 457 nm yang dipantulkan oleh permukaan kertas, dengan cahaya sejenis yang dipantulkan oleh permukaan lapisan magnesium oksida. Derajat putih diukur dengan alat brightness tester. Nilai derajat putih pulp dapat langsung dibaca pada alat. Cara kerja:
1) Siapkan contoh uji berdasarkan SNI 14-0696-1989,
2) Simpan contoh uji dalam ruang kondisi sesuai dengan SNI 14-0402-1989, Kondisi ruang pengujian untuk lembaran pulp, kertas dan karton, selama 24 jam.
3) Siapkan contoh uji berukuran 10 cm x 10 cm yang bebas tanda air, noda atau cacat-cacat lainnya.
4) Susun contoh uji dalam satu tumpukan (sampai tidak tembus pandang) dengan sisi yang akan diuji menghadap ke atas.
5) Tambahkan kertas dengan ukuran yang sama di bagian atas dan bawah tumpukan untuk melindungi contoh uji.
6) Hindari contoh dari kontaminasi, pemanasan atau penyinaran yang berlebihan. dan nyalakan alat dan biarkan selama 15 menit untuk pemanasan.
7) Periksa apakah filter yang digunakan sudah tepat.
8) Atur nilai nol alat dengan standar hitam.
9) Kalibrasi standar kerja terhadap standar primer

3.5.3 Daya regang (elastisitas)

Daya regang (elongation) merupakan regangan maksimal yang dicapai oleh kertas sebelum putus diukur pada kondisi standar. Prosedur singkat uji mekanik atau uji elastisitas sampel material ketas atau adalah sbb:

1. Potong kertas dengan bentuk pita persegi pajang dengan ukuran 40 x 2 mm.
2. Nyalakan alat autograf untuk memanaskannya kira-kira 30 menit sebelum alat digunakan.
3. Jepitkan kedua ujung kertas pada alat autograf, setting hingga pada posisi tepat.
4. Tekan tombol ON untuk memulai menarik sampel kertas yang akan diuji.
5. Baca hasil pengukuran dan catat di lembar pengamatan. Data-data yang di dapat sebelum pengujian antara lain : panjang dan lebar pita kertas sampel. Sedangak data yang dibaca dari hasil pengukuran antara lain: tebal, perpanjangan (∆l), gaya (kGf).
Kekuatan regang (stress) menunjukkan besarnya kekuatan material ketika diberi beban tertentu.


F N
T = __ = __ = Pa
A m²


perpanjangan (∆l)
Strain = ___________________
Panjang awal


Gaya x 9.800
Stress = ___________________ (pascal)
Luas sampel



Daya Regang (elastisitas) = ( Gpa)











IV. HASIL DAN PEMBAHASAN



4.1 Karakterisasi Bahan Baku


Bahan baku pembuatan pulp acetosolv dalam penelitian ini adalah ampas rumput laut Eucheuma cottonii. Dalam penelitian ini dilakukan analisis untuk mengetahui sifat kimia yang terkandung dalam bahan. Sifat kimia yang dianalisis yaitu kadar selulosa, hemiselulosa, lignin. Hasil analisis sifat kimia ampas rumput laut Eucheuma cottonii dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Sifat kimia ampas rumput laut Eucheuma cottonii
Parameter Ampas rumput laut
Sampel Pustaka
Kadar selulosa (%) 17,47 16a – 20ab
Kadar hemiselulosa (%) 21,16 18 – 22a
Kadar lignin (%) 8,23 7a – 10b

Sumber : a Riyanto et al (1998)
b Ujiani (2007)


Berdasarkan hasil analisis sifat kimia bahan baku pada tabel di atas menunjukkan bahwa ampas rumput laut Eucheuma cottonii mengandung selulosa sebesar 17,47%, hemiselulosa 21,16% dan lignin 8,23%. Hasil analisis tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil analisis yang telah dilakukan oleh Riyanto et al. (1998) terhadap ampas rumput laut hasil pengolahan agar-agar kertas yaitu menghasilkan selulosa berkisar 16–20%, hemiselulosa 18–22% dan lignin 7–8%. Dengan nilai kandungan ampas rumput tersebut diharapkan berpotensi untuk dibentuk lembaran kertas dan dapat menghasilkan sifat fisik lembaran kertas ampas rumput laut terbaik. Ria (2011) menyatakan dari penelitian mikroskop terlihat ukuran dan bentuk serat agalosa lebih homogen, tidak seperti serat selulosa yang bulat, lonjong, atau pipih. Homogenitas ini yang membuat kualitas kertas lebih baik, lebih fleksibel, lebih halus.

4.2 Rendemen

Hasil analisis ragam (Tabel 5) menunjukkan bahwa konsentrasi H¬2O2 dan konsentrasi pati memiliki pengaruh sangat nyata terhadap kadar rendemen pulp yang dihasilkan. Namun interaksi antara konsentrasi H2O2 dan konsentrasi tapioka tidak berpengaruh nyata terhadap rendemen pulp yang dihasilkan. Untuk itu dilakukan uji lanjut BNJ terhadap main effect. Hasil uji lanjut menggunakan BNJ 5% terhadap main effect pada faktor H (konsentrasi H2O2) (Tabel 9) menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang nyata terhadap kadar rendemen pulp yang dihasilkan, yaitu pada H0 (konsentrasi H2O2 0% atau tanpa penambahan pemutih) dan H1 (konsentrasi H2O2 2%), dengan rendemen pulp pada H2 (konsentrasi H2O2 4%) dan H3 (konsentrasi H2O2 6%) . Kadar rendemen pulp acetosolv pada beberapa konsentrasi H2O2 ampas rumput laut Eucheuma cottonii dapat dilihat pada Gambar 5.














Gambar 6. Rendemen pulp acetosolv ampas rumput laut pada beberapa
konsentrasi hidrogen peroksida


Berdasarkan Gambar 6 diatas, terlihat bahwa peningkatan konsentrasi hidrogen peroksida akan menurunkan kadar rendemen pulp ampas rumput laut yang dihasilkan, penurunannya pun cukup signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa dalam proses pemutihan terjadi reaksi delignifikasi yang menyebabkan lignin terdegradasi. Menurut Mac Donald dan Franklin (1969) dalam Zuidar dan Hidayati (2007) proses delignifikasi yang semakin sempurna akan menyebabkan turunnya rendemen sebagai akibat meningkatnya konsentrasi larutan pemutih. Dence dan Reeve (1996) menyebutkan bahwa selama pemutihan pulp, degradasi pulp dapat terjadi, akibatnya fragmen-fragmen selulosa menjadi terlarut sehingga rendemen pulp yang dihasilkan rendah.

Hasil penelitian Amri (2008) dan Ferdiyanto (2011) juga menyatakan bahwa produksi pulp acetosolv menggunakan konsentrasi pemutih asam perasetat mengalami penurunan nilai rendemen seiring meningkatnya konsetrasi pemutih.
Hasil penelitian menunjukkan, rendemen tertinggi diperoleh dari perlakuan tanpa proses pemutihan (H0). Pada pulp tanpa mengalami proses pemutihan tidak ada komponen kimia yang terurai dan terlarut baik itu selulosa, hemiselulosa, dan lignin sehingga rendemen yang didapat juga tinggi.

Nilai rendemen pulp terputihkan hasil penelitian berkisar antara 53,82-66,17%. Nilai rendemen yang dihasilkan tergolong tinggi. Hal ini terlihat dari hasil penelitian Nimz dan Casten (1986) dalam Ferdiyanto (2011) yang menyatakan bahwa produksi pulp acetosolv menggunakan pelarut asam asetat dan katalis HCl dengan konsentrasi 5%-0,2% pada suhu pemasakan 195oC serta proses akhir pemutihan menggunakan H2O2 dengan konsentrasi 0,5-2% menghasilkan rendemen pulp sebesar 40-60%.

Hasil uji lanjut BNJ 5% terhadap main effect pada faktor P (konsentrasi Tapioka) (Tabel 10) menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata. Kecuali untuk perlakuan P1 (penambahan tapioka 2%) dan P2 (penambahan tapioka 6%). Kadar rendemen pulp acetosolv pada beberapa konsentrasi tapioka dapat dilihat pada Gambar 7. Berdasarkan konsentrasi penambahan tapioka nilai rendemen pulp acetocolv berbanding terbalik dengan peningkatan konsentrasi pemutih. Nilai rendemen berdasarkan hasil penelitian berkisar antara 57-62%. Hal ini menujukkan bahwa adanya peningkatan nilai rendemen yang disebabkan adanya penambahan konsentrasi tapioka.

Penambahan konsentrasi tapioka membantu meningkatkan rendemen pulp. Hal ini diduga karena kandungan karbohidrat yang terdapat pada tapioka. Tapioka dapat menjadi bahan aditif untuk menambah jumlah kandungan karbohidrat dikarenakan memiliki kesamaan unsur glukosa seperti halnya selulosa, sehingga mampu menambah kandungan glukosa pada selulosa pulp dan meningkatkan rendemen.










Gambar 7. Rendemen pulp acetosolv ampas rumput laut pada beberapa
konsentrasi tapioka


4.3. Derajat Putih

Hasil analisis ragam (Tabel 11) menunjukkan bahwa konsentrasi hidrogen peroksida dan tapioka berpengaruh sangat nyata terhadap derajat putih dari lembaran kertas yang dihasilkan, serta terdapat interaksi antara kedua perlakuan. Hasil uji lanjut menggunakan Beda Nyata Jujur 5% menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang sangat nyata terhadap semua perlakuan kecuali pada perlakuan H0P3 (Konsentrasi H2O2 0% Tapioka 6%) dan H2P3 (Konsentrasi H2O2 4% Tapioka 6%) serta H1P1 (Konsentrasi H2O2 4% Tapioka 2%) dan H2P2 (Konsentrasi H2O2 4% Tapioka 4%). Hubungan antara penambahan konsentrasi H2O2 dan konsentrasi tapioka terhadap nilai derajat putih lembaran kertas dapat dilihat pada Gambar 8.










Gambar 8. Pengaruh penambahan konsentrasi H2O2 dan konsentrasi tapioka
terhadap nilai derajat putih lembaran kertas


Dari gambar diatas terlihat bahwa konsentrasi H2O2 dan tapioka memberikan pengaruh nyata terhadap nilai derajat putih lembaran. Penambahan konsentrasi tapioka juga dapat meningkatkan nilai derajat putih lembaran kertas ampas rumput laut. Penggunaan konsentrasi H2O2 pada konsentrasi 2% memberikan nilai kecerahan pada lembaran kertas yang cukup signifikan seiring dengan penambahan konsentrasi tapioka 2%, 4% dan 6%. Namun terjadi penurunan nilai derajat putih dimulai dari konsentrasi H2O2 4%.

Nilai derajat putih lembaran kertas berkisar antara 0-100%, semakin tinggi persentase yang dihasilkan maka warna lembaran kertas semakin putih. Derajat putih pada penelitian ini berkisar antara 20,7-52,3%. Berdasarkan kriteria SNI 14-0091-1998 (kertas koran) derajat putih minimal adalah 55%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pulp dari ampas rumput laut hasil pemutihan pada berbagai konsentrasi belum memenuhi kriteria SNI pulp untuk kertas koran, namun pada setiap peningkatan konsentrasi pemutih mengalami peningkatan nilai derajat putih dan mendekati nilai derajat putih sesuai kriteria SNI kertas koran. Meningkatnya derajat putih pulp diduga karena terjadinya penurunan kadar lignin dan struktur-struktur tak jenuh (kromofor) pada pulp terhidrolisis oleh peroksida dan larut dalam air saat proses pencucian. Menurut Casey (1952) bahan aktif pemutih dalam proses pemutihan pulp dengan peroksida adalah ion OOH- yang berasal dari ionisasi H2O2, ion-ion tersebut menyerang lignin dan bahan-bahan pewarna lain dalam pulp secara selektif.

Dari hasil penelitian ini terlihat adanya ketidakefektifan pemakaian bahan pemutih, sehingga menyebabkan terjadinya penurunan nilai derajat putih pada lembaran yang dihasilkan. Menurut Fuadi (2008), ketidakefektifan pemakaian H2O2 di sini disebabkan oleh adanya beberapa metal ions yang ada di dalam pulp (Fe, Mn dan Cu) yang bertindak sebagai katalisator. Hidayati (2000) menyatakan bahwa perbedaan konsentrasi peroksida berpengaruh nyata terhadap derajat putih pulp ampas tebu. Hasil analisis derajat putih menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi peroksida akan meningkatkan derajat putih, tetapi pada peningkatan yang lebih dari 5% akan menurunkan nilai derajat putih.

Selain pengaruh dari bahan pemutih, tapioka memberikan pengaruh nyata terhadap peningkatan kecarahan (brightness) pada lembaran kertas. Menurut Casey (1981), penambahan tapioka dapat meningkatkan kecarahan (brightness), kemampuan daya cetak lembaran dan ketahanan lipat. Tapioka sebagai tapioka memiliki sifat tidak mudah larut dalam air dan memiliki penampilan fisik warna putih cerah sehingga mampu memberikan sifat cerah pada lembaran kertas yang dihasilkan. Nilai derajat putih merupakan indikasi mutu dari suatu kertas. Semakin tinggi nilai derajat putih, kadar lignin akan semakin rendah dan kualitas kertas akan semakin tinggi.

4.4. Daya Regang

Berdasarkan hasil analisis ragam (Tabel 15) terlihat bahwa pengaruh masing-masing perlakuan dengan penambahan tapioka dan konsentrasi H2O2 , serta interaksinya terhadap nilai kekuatan regang lembaran kertas ampas rumput laut yang dihasilkan adalah sangat berbeda nyata. Hasil uji lanjut menggunakan Beda Nyata Jujur 5% menyatakan bahwa perlakuan H0P3 (Konsentrasi H2O2 0% Tapioka 6%) berbeda nyata terhadap semua perlakuan kecuali terhadap H1P1 (Konsentrasi H2O2 2% Tapioka 4%), H2P1 (Konsentrasi H2O2 4% Tapioka 2%), H3P1 (Konsentrasi H2O2 6% Tapioka 2%) dan H3P2 (Konsentrasi H2O2 6% Tapioka 4%). Dan perlakuan H3P3 (Konsentrasi H2O2 6% Tapioka 6%) berbeda nyata terhadap semua perlakuan kecuali terhadap H2P3 (Konsentrasi H2O2 4% Tapioka 6%). Nilai kekuatan regang lembaran kertas tertinggi adalah pada perlakuan H1P3 (Konsentrasi H2O2 2%, tapioka 6%) yaitu sebesar 1,75 Gpa. Pengaruh penambahan konsentrasi H2O2 dan konsentrasi tapioka terhadap nilai daya regang lembaran kertas dapat dilihat pada Gambar 9.














Gambar 9. Pengaruh penambahan konsentrasi H2O2 dan konsentrasi tapioka
terhadap nilai daya regang lembaran kertas.

Nilai daya regang tertinggi pada penelitian ini mencapai 1,75 Gpa yang telah memenuhi standar nilai daya regang kertas fotokopi sebesar 0.49 GPa (Zulferiyenni, 2002). Daya regang (elongation) merupakan regangan maksimal yang dicapai oleh kertas sebelum putus diukur pada kondisi standar (SNI,1998). Menurut Suyitno dalam Stevany (2010), daya regang putus suatu bahan dihitung dari beban maksimum selama pengujian peregangan sampai bahan menjadi rusak atau putus terhadap luas penampang melintang mula-mula dari sampel. Faktor yang mempengaruhi daya regang antara lain panjang serat, fleksibilitas serat dan ikatan antar serat (Rismijana, 2003).

Berdasarkan Gambar 9, kekuatan regang lembaran kertas sangat dipengaruhi oleh konsentrasi H2O2 dan konsentrasi tapioka. Peningkatan konsentrasi H2O2 yang diberikan akan menurunkan nilai kekuatan regang dari lembaran kertas yang dihasilkan, sebaliknya peningkatan konsentrasi tapioka yang diberikan akan meningkatkan kekuatan regang lembaran kertas. Menurut Ulia (2007), konsentrasi H2O2 yang besar dapat menurunkan kekuatan kertas, kondisi ini disebabkan karena sebagian selulosa ikut terdegradasi bersama lignin sehingga kertas menjadi rapuh. Hal ini didukung juga oleh Edahwati (2009) bahwa pencapaian kekuatan tarik teringgi diperoleh pada perlakuan tanpa penambahan H2O2, sedangkan nilai ketahanan tarik terendah dicapai pada penambahan dosis H2O2 sebesar 3%.

Tapioka sebagai bahan pengikat mampu memperbaiki ikatan antar serat dari ampas rumput laut pada lembaran yang dihasilkan sehingga menutup pori-pori kertas. Hal ini di kemukakan juga oleh Wurzburg (1989) dalam Munawaroh (1998) bahwa fungsi tapioka sebagai bahan aditif kertas akan memperbaiki daya penetrasi minyak dan air pada kertas serta memperbaiki sifat fisik lembaran kertas seperti kekuatan internal dan kekuatan permukaan.








V. SIMPULAN DAN SARAN



5.1 Simpulan


Berdasarkan penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan maka dapat diambil kesimpulan bahwa :
1. Konsentrasi larutan pemutih H2O2 sangat berpengaruh nyata terhadap rendemen, derajat putih dan daya regang lembaran kertas berbasis ampas rumput laut Eucheuma cottonii. Hasil perlakuan terbaik diperoleh pada konsentrasi H2O2 2%.
2. Konsentrasi tapioka sangat berpengaruh nyata terhadap rendemen, derajat putih dan daya regang lembaran kertas berbasis ampas rumput laut Eucheuma cottonii. Hasil perlakuan terbaik diperoleh pada konsentrasi tapioka 6%.
3. Terdapat interaksi antara kedua perlakuan penambahan konsentrasi H2O2 dan konsentrasi tapioka terhadap derajat putih dan daya regang lembaran kertas namun tidak terdapat interaksi terhadap rendemen ampas ramput laut dengan nilai rata-rata derajat putih 52.40 % dan daya regang 1.76 GPa. Hasil perlakuan terbaik diperoleh pada perlakuan HIP3 (Konsentrasi H2O2 2% Tapioka 6%) dengan nilai rata-rata rendemen 60,52%, derajat putih 52,40%, dan daya regang 1,76 GPa.


5.2 Saran

Perlu dilakukan pencarian karekteristik bahan baku ampas rumput laut hasil limbah agroindustri rumput laut agar dihasilkan bahan baku yang berkulitas serta perlu adanya penelitian lebih lanjut dengan penggunaan konsentrasi hidrogen peroksida yang berbeda untuk mendapatkan nilai derajat putih yang memenuhi standar SNI kertas.









DAFTAR PUSTAKA


Amri, Y. 2009. Pengaruh konsentrasi asam perasetat terhadap karakteristik pulp acetosolv dari campuran ampas tebu dan bambu. Skripsi. Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Lampung.

Anggadiredjo. 2006. Rumput Laut. Penebar Swadaya. Jakarta.

Anonim. 2007. Paper Additive. http://technograph.blogspot.com/2007/08/paper-additive.html. Diakses tanggal 7 Agustus 2011
Anonim. 2008. Kertas Masa Depan Dari Rumput Laut Tidak Lagi Dari Hutan. http://tekameli.multiply.com/journal. Diakses tanggal 21 April 2011.
Anonim. 2011. Kertas Masa Depan dari Laut Tidak Lagi dari Hutan. http://bioindustri.blogspot.com/. Diakses tanggal 21 April 2011.
ASTM. 1983. Annual Book of ASTM Standards. American Society For Testing And Materian. Philadelpia.

Batubara, R. 2002. Kayu dalam Kehidupan Manusia. Jurnal Program Ilmu Kehutanan.

Biro Data dan Analisa. 1982. Perkembangan Industri Kertas dan Pulp Di Indonesia dan Dunia. Departemen Perindustrian RI. 131 hal.

Calkin, J. S. 1957. Modern Pulp and Papermaking. Reinhold Publ. New York.

Casey, J. P. 1952. Pulp and Paper Chemistry and Technology. Vol.1 . Inter science Publisher, Inc. New York.

Casey, J. P. 1966. Pulp and Paper : Chemistry and Chemical Technology VI : Pulping and Bleaching. 2nd. New York.

Casey. 1981. Pulp and Paper Chemistry and Chemical Technology. Vol ke-3.
New York: A wiley Interscience Publisher Inc.

Datta, R. 1981. Acidogenic Fermentation of Lignocellulose Acid Yield and
Convertation of Componens. Biotechnol. Bioeng 23, p : 2167-2170.
Dence, C.W. dan D.W. Reeve. 1996. Pulp Bleaching, Principle and Practice.
TAPPI Press. Atlanta, Georgia 9.

Edahwati, L. 2009. Proses Deinkin Kertas Koran Bekas Dengan Menggunakan
Hidrogen Peroksida (H2O2). Jurnal Kimia dan Teknologi, ISSN 0216 – 163X. Hal 322-327.

Erwinsyah. 2008. Mari Mengenal Apa Itu Kayu.
http://www.erwinsyah.info/2008/04/13a.html. Diakses tanggal 21 April 2008.

Erythrina. 2011. Kajian Penggunaan Selulosa Mikrobial Sebagai Pensubstitusi
Selulosa Kayu Dalam Pembuatan Kertas. http://erythrinaszone.blogspot.com/. Diakses tanggal 5 Agustus 2011.

Felton, A. J. 1980. Secondary Fiber Pulping. Third Edition. Vol. I. Jhon Wiley and Sons Inc. New York.

Fengel, D dan Wegener G, 1989. Kayu. Kimia, Ultrastruktur dan reaksi-reaksi. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 730 Hal.

Ferdiyanto. 2011. Kajian Penggunaan Asam Klorida Dan Asam Perasetat Pada
Proses Produksi Pulp Acetosolv Dari Ampas Tebu Dan Bambu Betung. Tesis. Program Pascasarjana Teknologi Agroindustri. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Lampung. 102 hal

Fuadi, A,M. 2008. Pemutihan Pulp dengan Hidrogen Peroksida. Reaktor, Vol 12 No. 2. Hal 123-128

Herminiati, A. 2006. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Balai Pengembangan
Teknologi Tepat Guna. Jakarta.

Hidayati, S. 2000. Pemutihan Pulp Ampas Tebu sebagai Bahan Dasar
Pembuatan CMC. Jurnal Agrosains vol:13 (1). Hal. 59-78

Istini. 1986. Manfaat dan Pengolahan Rumput Laut. Jurnal Penelitian BPPT. Jakarta.

Mac Donald, R.G. dan J.N. Franklin. 1969. The Pulping Wood. 2nd. Ed (1). Mc Graw-Hill Book Company. New York

Munawaroh, F. 1998. Kajian Pengaruh Suhu Dan Waktu Hidrolisis Asam
Terhadap Sifat Tapioka Sagu Termodifikasi Sebagai Surface Sizing. http://repository.ipb.ac.id/ Diakses tanggal 15 Januari 2012

Nopianto. 2009. Tapioka. http://eckonopianto.blogspot.com/2009/04/tapioka.html. Diakses tanggal 5 Agustus 2011
Nugraha, Y.P. 2003. Pengaruh Konsentarasi Larutan Pemasak dan Nisbahnya dengan Bobot Baggase terhadap Rendemen dan Sifat Fisik Pulp Bagase (Acetosolv). Skripsi. Teknologi Hasil Pertanian. Universitas Lampung. 58 Hal

Nugroho, P dan Rusmanto. 1999. Pemilihan Pelarut Organik Etanol dan Asam Asetat Untuk Pembuatan Pulp dari Tandan Kosong Sawit. Jurnal Laboratorium Termofluida dan Sistem Utilitas.

Palupi, N. 1995. Pengaruh Proses Pelapisan ( Pigment Coating ) Dan Komposisi
Serat Kayu Terhadap Mutu Kertas Glasin. Skripsi. Teknologi Industri Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. 131 Hal.

Panshin, A. J., E.R. Harun, J.J Baler dan P.B. Roctor. 1975. Forest Product. Mc Graw Hill Book Company Inc. New York. 1957

Retnowati. 2008. Pemutihan Eceng Gondok Menggunakan H2O2 Dengan
Katalisator Natrium Bikarbonat. Reaktor, Vol 12 No. 1. Hal 33-36.

Ria. 2011. Kertas Rumput Laut. http://dewataart.wordpress.com/category/1/.
Diakses tanggal 5 April 2011

Riyanto,B., Maya W. 2006. Cookies Berkadar Serat Tinggi Substitusi Tepung
Ampas Rumput Laut Dari Pengolahan Agar-Agar Kertas. Buletin Teknologi Hasil Perikanan, Vol IX Nomor 1 Tahun 2006. Hal 47-57.

Rismijana, J., Iin Naomi Indriani., dan Tutus Pitriyani. 2003. Penggunaan Enzim
Selulase-Hemiselulase pada Proses Deinking Kertas Koran Bekas. Jurnal Matematika dan Sains Vol. 8 No. 2, Juni 2003. Hal 67 – 71.

Roliadi, et. al. 2009. Pembuatan dan Kualitas Karton Seni dari Campuran Pulp
Tandan Kosong Kelapa Sawit, sludge Industri Kertas, dan Pulp Batang Pisang. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Bogor. Hal 1-19.

Siagian, R.M. 1989. Teknologi Pemutihan Pulp. Pengolahan Pulp Secara Kimia.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dalam Rangka Alih Ilmu Pengetahuan dan Teknologi lndustri Pulp Kertas dan Papan Serat. Bogor.

Sjostrom, E. 1981. Kimia Kayu; Dasar-dasar dan Penggunaan. Edisi ke 2.
Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 390 Hal.

Soenardi, B. S. F. 1976. Sifat-sifat Kimia Kayu. Cetakan ke- 8. Yayasan
Pembina Fakultas Kehutanan. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. 58 Hal.

Standar Industri Indonesia. 1989. SNI 0438-1989 (Cara Uji Derajat Putih Pulp),
SNI 0091-1998 (Daya regang kertas) Departemen Perindustrian RI. Jakarta.


Stevany. 2010. Daya Regang. http://www.scribd.com/ihalingkar/d/47971604
daya-regang-b4-fix. Diakses tanggal 12 Januari 2012

Sutiya, B. 2002. Kandungan Kimia Kayu Akacia Crassisarpa A. Cunn Ex Benth. Pada Berbagai Umur. Jurnal Buletin Kehutanan (5) : Hal 23-30.

Ujiani. 2007. Kandungan Ampas Rumpit Laut.
http://digilib.its.ac.id/public/ITS-NonDegree-12874-Chapter1.pdf . Diakses tanggal 15 Desember 2011.

Ulia, H. 2007. Alternatif Penggunaan Hidrogen Peroksida Pada Tahap Akhir Proses Pemutihan Pulp. Tesis. Pascasarjana. Magister Teknik Kimia. Universitas Sumatera Utara. Medan. 94 Hal.

Zuidar, A.S. dan S. Hidayati. 2007. Pengaruh Konsentrasi Larutan Pemasak Dan Nisbahnya Dengan Bobot Bagase Terhadap Rendemen Dan Sifat Fisik Pulp Bagase (Acetosolve). Agritek. Universitas Lampung. Vol. 15, No 3.

Zulferiyenni. 2002. Pemurnian Selulosa Buah Nenas Untuk Bahan Dasar Pembuatan Film Selulosa. Tesis. Program Pascasarjana Teknologi Agroindustri. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Lampung.

Kertas Rumput laut,..

PENGARUH KONSENTRASI HIDROGEN PEROKSIDA (H2O2) DAN KONSENTRASI TAPIOKA TERHADAP SIFAT FISIK KERTAS BERBASIS AMPAS RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii


(Skripsi)










Oleh
Dessy Sintaria
















FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2012










I. PENDAHULUAN



1.1. Latar Belakang dan Masalah


Kertas merupakan salah satu produk turunan selulosa yang memegang peranan penting dalam kehidupan sehari-hari. Kebutuhan pulp dan kertas Indonesia terus mengalami peningkatan seiring dengan pertumbuhan penduduk dan kemajuan aktivitas yang berhubungan dengan pemakaian kertas (Anonim, 2008).

Industri kertas merupakan salah satu jenis industri terbesar di dunia dengan menghasilkan 278 juta ton kertas dan karton, dan menghabiskan 670 juta ton kayu. Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dunia, kebutuhan akan kertas juga semakin meningkat. Pertumbuhan dalam dekade berikutnya diperkirakan antara 2% hingga 3,5% per tahun, sehingga membutuhkan kenaikan kayu log yang dihasilkan dari lahan hutan seluas 1 sampai 2 juta hektar setiap tahun. Industri kertas, selain membutuhkan kayu sebagai bahan baku utama, juga tergolong industri dengan tingkat konsumsi energi tinggi dan menghasilkan limbah yang cukup membahayakan bagi lingkungan (Ria, 2011). Oleh karena itu, pemerintah perlu mencari alternatif bahan baku lain yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pulp dan kertas selain kayu.

Salah satu cara untuk mengatasi kelangkaan dan semakin mahalnya bahan baku kertas yaitu dengan pemanfaatan rumput laut. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, Indonesia memiliki luas area untuk kegiatan budidaya rumput laut mencapai 1,1 juta ha yang sampai saat ini belum digarap dengan maksimal. Rumput laut Eucheuma cottonii merupakan jenis rumput laut yang paling banyak dibudidayakan di wilayah perairan Indonesia.

Beberapa kelebihan yang dimiliki rumput laut sebagai bahan dasar kertas adalah pertumbuhan massa rumput laut yang sangat tinggi, yakni 5-10% sehari. Dengan masa panen 70 hari, pertumbuhan tersebut sangat pesat dibandingkan dengan pohon sebagai bahan baku kertas konvensional, yang baru dapat dipanen minimal 7 tahun bahkan 15 tahun pada negara-negara subtropis. Untuk negara tropis seperti Indonesia, rumput laut dapat dipanen sepanjang tahun, sedangkan negara beriklim subtropis, panen rumput laut hanya dapat dilakukan selama 2 kali dalam setahun. (Ria, 2011).

Anonim (2008) menyatakan bahwa kelebihan lain dari kertas berbahan dasar rumput laut adalah minimnya komponen racun yang ada pada kertas. Berbeda dengan kertas konvensional yang menggunakan beberapa jenis bahan kimia dalam proses produksi, pengolahan kertas dari rumput laut dapat menggunakan pemutih non klorin serta pemilihan bahan kimia yang relatif aman. Dengan demikian proses ini aman bagi lingkungan dan tidak berdampak negatif bagi kesehatan. Kondisi ini berpeluang menjadikan kertas berbahan dasar rumput laut sebagai bahan kemasan untuk produk pangan.

Pada proses pembuatan pulp akan dihasilkan pulp yang berwarna gelap akibat proses pulping. Untuk menghilangkan sisa warna pada bahan dasar rumput laut dapat digunakan dengan cara oksidasi yang diikuti dengan reaksi pemutihan (bleaching). Menurut Fuadi (2008) salah satu oksidator yang dapat menghilangkan warna adalah hidrogen peroksida (H2O2). Selain itu pada proses pembuatan kertas diperlukan penambahan tapioka. Tapioka berfungsi untuk menutupi rongga - rongga yang kosong sehingga bisa meningkatkan opasitas kertas. Pada penelitian ini bahan pengisi yang digunakan adalah tapioka (pati singkong). Tapioka ini terbukti efektif untuk menghasilkan kertas dengan sifat fisik yang baik. Penggunaan teknik kombinasi ini pun diharapkan dapat meningkatkan mutu kertas dan menjadi solusi bagi deforestasi hutan Indonesia.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan konsentrasi H2O2 dan konsentrasi tapioka yang tepat untuk menghasilkan sifat fisik ketas berbasis ampas rumput laut spesies Eucheuma cottonii terbaik.

1.3 Kerangka Pemikiran

Riyanto et al. (1998) menyatakan bahwa dalam pengolahan rumput laut menjadi agar-agar kertas banyak dihasilkan ampas yang tidak terpakai dengan komponen selulosa sebesar 16-20%, hemiselulosa 18-22%, lignin 7-8%.

Keunggulan rumput laut bila dibandingkan dengan kayu adalah mengandung serat agalosa selebar 3-7 mikrometer dan panjang 0,5-1 milimeter, dengan fleksibilitas tinggi dan mengandung substansi perekat cair. Dari penelitian mikroskop terlihat ukuran dan bentuk serat agalosa lebih homogen, tidak seperti serat selulosa yang bulat, lonjong, atau pipih. Homogenitas ini yang membuat kualitas kertas lebih baik, lebih fleksibel, lebih halus (Ria, 2011).

Menurut Panshin (1975), pulp hasil pemasakan masih berwarna gelap sehingga perlu dilakukan pemutihan untuk menghilangkan sisa lignin yaitu dengan cara oksidasi. Menurut Fuadi (2008), H2O2 merupakan bahan pemutih yang bisa digunakan untuk proses pemutihan dengan konsep totally chlorine free (TCF). H2O2 mampu memutihkan pulp hingga mendekati 90% dengan efek degradasi selulosa yang cukup kecil. Ditinjau dari sisi teknis dan ekonomi, H2O2 layak dipertimbangkan untuk menggantikan ClO2, sehingga efek negatif terhadap lingkungan bisa diminimalisir.

Penelitian yang telah dilakukan Retnowati (2008) menunjukkan bahwa perlakuan pemutihan eceng gondok dengan katalisator natrium bikarbonat terbaik dengan menggunakan H2O2 adalah pada konsentrasi 4 % dengan kadar lignin awal 9,75% diperoleh warna putih yang cerah serta mempunyai kuat tarik cukup besar, yaitu berkisar pada 4,7 N/cm2. Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Edahwati (2009) pada proses deinking kertas koran bekas dengan menggunakan H2O2 menyatakan bahwa pada penggunaan H2O2 dengan konsentrasi 3 % dan lama waktu operasi 95 menit menghasilkan nilai brightness 58,75%. Selain itu Fuadi (2008) menunjukkan bahwa perlakuan pemutihan pulp berbasis pohon akasia terbaik dengan menggunakan H2O2 adalah pada konsentrasi 16%. Kandungan lignin pohon akasia pada penelitian yang dilakukan oleh Sutiya (2002) adalah sebesar 29,28%.
Menurut Erythrina (2010) pada proses pembuatan lembaran kertas, sifat kertas dapat diperbaiki dengan penambahan zat-zat lain seperti pigmen, pengisi dan pewarna. Pigmen ini berfungsi untuk mengisi pori-pori permukaan kertas sehingga permukaan menjadi rata. Untuk pengisi yang digunakan adalah tapioka, tapioka termodifikasi, PVA, dan CMC. Secara umum tapioka digunakan untuk meningkatkan kehalusan permukaan kertas dan opasitas, sehingga kertas tidak tembus pandang. Penambahan tapioka dapat pula meningkatkan kecerahan (brighteness), kemampuan daya cetak lembaran dan ketahanan lipat. Penambahan tapioka dilakukan pada saat pembentukan kertas baik dalam keadaaan basah maupun dalam keadaan kering untuk memperbaiki sifat fisik dan sifat optik kertas (Casey, 1981).

Pada panelitian ini akan digunakan jenis bahan tambahan yaitu tapioka. Tapioka berfungsi untuk menutup pori-pori kertas yang tidak terisi serat sehingga tidak mudah dipenetrasi oleh air. Selain untuk sizing, tapioka juga digunakan untuk menggabungkan lapisan-lapisan kertas dan menjamin ikatan antar lapisan kertas.

Pemakaian tapioka pada pembuatan kertas berkisar antara 2-3% dari berat pulp kering oven, serta tergantung pada jenis dan prosentase bahan penolong lainnya. (Casey 1980). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Roliadi et al. (2009), lembaran karton seni dibentuk dari campuran pulp TKKS 30-50%, sludge industri kertas 35-50%, dan pulp batang pisang (0-30%), berikut aditif (kaolin 5%, alum 2%, tapioka 4%, dan rosin size 2%) menghasilkan sifat fisik/ kekuatan karton seni yang lebih baik/ tinggi daripada sifat karton produksi industri rakyat (dari campuran sludge 50%, kertas bekas 50%, tanpa aditif).
Masalah yang ditemukan pada penelitian ini yaitu belum didapatkannya konsentrasi pemutih hidrogen peroksida (H2O2) dan konsentrasi tapioka yang tepat untuk menghasilkan sifat fisik kertas berbasis ampas rumput laut spesies Eucheuma cottonii terbaik. Pada penelitian ini digunakan bahan pemutih H2O2 dengan konsentrasi 0% (v/v), 2% (v/v), 4% (v/v), dan 6% (v/v) dan penggunaan konsentrasi tapioka 2% (b/b), 4% (b/b), dan 6% (b/b). Dari perlakuan penambahan konsentrasi tapioka dan hidrogen peroksida maupun interaksi keduanya diharapkan dapat menghasilkan rendemen, derajat putih dan daya regang lembaran kertas berbasis ampas rumput laut spesies Eucheuma cottonii terbaik.

1.4 Hipotesis


Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Terdapat konsentrasi hidrogen peroksida (H2O2) yang tepat untuk menghasilkan rendemen, derajat putih dan daya regang lembaran kertas berbasis ampas rumput laut spesies Eucheuma cottonii terbaik.
2. Terdapat konsentrasi tapioka yang tepat untuk menghasilkan rendemen, derajat putih dan daya regang lembaran kertas berbasis ampas rumput laut spesies Eucheuma cottonii terbaik.
3. Terdapat interaksi antara konsentrasi hidrogen peroksida (H2O2) dan konsentrasi tapioka yang tepat untuk menghasilkan rendemen, derajat putih dan daya regang lembaran kertas berbasis rumput laut spesies Eucheuma cottonii terbaik.






II. TINJAUAN PUSTAKA



2.1 Kertas


Menurut Departemen Perindustrian (1982), kertas merupakan lembaran yang terdiri dai serat-serat selulosa yang saling jalin-menjalin dan dihasilkan dari kompresi serat dari pulp. Serat yang digunakan biasanya adalah alami, dan mengandung selulosa dan hemiselulosa. Selain itu menurut Sudaryato (2010), kertas adalah barang baru ciptaan manusia berwujud lembaran-lembaran tipis yang dapat dirobek, digulung, dilipat, direkat, dicoret mempunyai sifat yang berbeda dari bahan bakunya tumbuh-tumbuhan. Kertas dibuat unutk memenuhi kebutuhan hidup yang sangat beragam.

Menurut Stephenson (1952) dalam Palupi, N, (1995) industri kertas dan kertas karton pada dasarnya melibatkan beberapa tahapan proses yaitu pembuatan pulp dari bahan baku berselulosa, penggilingan dan penyaringan pulp serta pembuatan kertas dan penyempurnaannya. Pembuatan pulp pada intinya memberikan perlakuan pada bahan baku berserat secara mekanik, kimia atau kombinasi dari keduanya sehingga setiap serat dapat dipisahlean dari lignin, zat ekstraktif dan komponen kimia lainnya dari bahan berlignoselulosa. Karakteristik akhir kertas yang dihasilkan akan bergantung pada kualitas pulp yang ditentukan oleh banyak faktor seperti pemilihan bahan baku dan tipe proses yang digunakan pada pembuatan pulp.

2.2 Rumput Laut Eucheuma cottoni


Rumput laut Eucheuma cottonii mempunyai ciri-ciri yaitu thallus silindris, percabangan thallus berujung runcing atau tumpul, ditumbuhi nodulus (tonjolan-tonjolan), berwarna coklat kemerahan, cartilageneus (menyerupai tulang rawan atau muda), percabangan bersifat alternates (berseling), tidak teratur serta dapat bersifat dichotomus (percabangan dua-dua) atau trichotomus (sistem percabangan tiga-tiga). Rumput laut Eucheuma cottonii memerlukan sinar matahari untuk proses fotosintesis. Oleh karena itu, rumput laut jenis ini hanya mungkin dapat hidup pada lapisan fotik, yaitu pada kedalaman sejauh sinar matahari masih mampu mencapainya. Di alam, jenis ini biasanya hidup berkumpul dalam satu komunitas atau koloni (Jana-Anggadiredjo, 2006). Berikut adalah klasifikasi dari Eucheuma cottoni.

Divisi : Rhodophyta
Kelas : Rhodophyceae
Ordo : Gigartinales
Famili : Solieriaceae
Genus : Eucheuma
Spesies: Eucheuma cottonii

Rumput laut dapat digunakan sebagai bahan baku pada pengolahan pulp. Eucheuma cottonii mempunyai cirri-ciri morfologis berthalus dan bercabang-cabang yang berbentuk bulat atau gepeng. Waktu hidup berwarna hijau atau kuning kemerahan dan bila kering warnanya kuning kecoklatan dan mempunyai duri-duri (Herminiati, 2006).

Rumput laut Eucheuma cottonii mengandung karbohidrat, protein, sedikit lemak, dan abu yang sebagian besar merupakan senyawa garam seperti natrium dan kalium. Selain itu juga merupakan sumber vitamin, seperti vitamin A, B1, B2, B6, B12, dan vitamin C, serta mengandung mineral seperti K, Ca, P, Na, Fe, dan Iodium (Istini, 1986). Komposisi kimia rumput laut Eucheuma cottoni dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi kimia rumput laut Eucheuma cottonii
Komposisi Jumlah
Air 12,90 %
Protein 5,12 %
Lemak 0,13 %
Karbohidrat 13,38 %
Serat Kasar 1,39 %
Abu 14,21 %
Ca 52,82 ppm
Fe 0,11 ppm
Riboflavin 2,26 mg/100 g
Vitamin C 4,00 mg/100 g
Karagenan 65,75 %

Sumber: Istini, 1986




2.3. Pulp

Pulp merupakan bahan baku pembuatan kertas dan senyawa-senyawa kimia turunan selulosa. Pulp dapat dibuat dari berbagai jenis kayu, bambu, dan rumput-rumputan. Pulp adalah hasil pemisahan selulosa dari bahan baku berserat (kayu maupun non kayu) melalui berbagai proses pembuatan baik secara mekanis, semikimia, maupun kimia. Felton (1980), mengatakan bahwa pulp yang diperoleh dari pendaurulangan kertas atau koran bekas disebut pulp serat sekunder.
Menurut proses pembuatannya pulp dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu :
a. Proses Mekanis
Proses pembuatan pulp yang seluruhnya menggunakan proses mekanis, misalnya dengan grinding dan milling. Pulp yang dihasilkan dapat digolongkan menjadi dua mechanical pulp unbleached dan bleached.
b. Proses Kimia
Bahan baku setelah ukurannya dikurangi, dimasak dalam suatu tempat (reaktor) yang bertekanan dan dicampur dengan bahan kimia. Setelah proses pemutihan akan diperoleh dua macam pulp yaitu chemical pulp bleached (pulp putih) dan unbleached (pulp coklat).
c. Proses Semi Kimia
Proses pembuatan pulp yang melalui dua tahap proses yaitu proses mekanis dan kimia (Biro Data dan Analisa, Departemen Perindustrian, 1982)

Untuk memperoleh pulp dengan kandungan selulosa tinggi, selulosa harus dipisahkan dari komponen lignoselulosa lainnya. Jika dibandingkan dengan hemiselulosa, selulosa relatif mempunyai daya tahan yang tinggi terhadap asam, karena selulosa mempunyai struktur kristal dan ikatan hidrogen yang kuat. Untuk memisahkan selulosa dari hemiselulosa dan lignin, ada dua proses utama yang harus dilakukan yaitu hidrolisis hemiselulosa dan delignifikasi untuk melarutkan lignin.

2.4 Bahan Pengisi Kertas


Secara umum, bahan pendukung memberi pengaruh pada kualitas kertas. Beberapa bahan pendukung berpengaruh langsung pada sifat-sifat kertas. Bahan-bahan tersebut antara lain sejumlah bahan-bahan non serat, yaitu bahan perekat (Sizing Agent), bahan pengisi (filler), dan bahan pewarna. Bahan pengisi adalah bahan yang dicampurkan ke dalam campuran bahan kertas yang bertujuan untuk meningkatkan mutu kertas.

Syarat-syarat bahan pengisi adalah dalam keadaan baik dan bersih (murni), kadar besi yang rendah (untuk menghindari perubahan warna kertas), mampu memberi warna dan kecerahan yang baik, tidak bereaksi terhadap bahan lain yang ada dalam pembuatan pulp.

Bahan pengisi berfungsi untuk memperbaiki kerataan permukaan kertas, mengatur berat dasar kertas yang akan dibuat, memperbaiki sifat daya cetak (printability), meningkatkan opasitas kertas, menambah derajat putih kertas (brightness), mengurangi daya tembus tinta, dan mempermudah kertas menerima tinta. Adapun efek negatif dari penggunaan bahan pengisi yang berlebihan, adalah akan mengurangi kekuatan kertas, sehingga kertas menjadi rapuh, kertas akan mudah mengalami pendebuan serta pecah ataupun retak, serta kertas akan menjadi kaku (Anonim, 2007).

2.4.1 Tapioka

Tapioka atau amilum adalah karbohidrat kompleks yang tidak larut dalam air, berwujud bubuk putih, tawar dan tidak berbau. Tapioka merupakan bahan utama yang dihasilkan oleh tumbuhan untuk menyimpan kelebihan glukosa (sebagai produk fotosintesis) dalam jangka panjang. Hewan dan manusia juga menjadikan tapioka sebagai sumber energi yang penting.

Tapioka atau pati singkong merupakan salah satu jenis karbihidrat yang tersusun dari amilosa dan amilopektin, dalam komposisi yang berbeda-beda. Amilosa memberikan sifat keras (pera) sedangkan amilopektin menyebabkan sifat lengket (Winarno,

Tapioka dan juga produk turunannya merupakan bahan yang multiguna dan banyak digunakan pada berbagai industri antara lain pada minuman dan confectionary, makanan yang diproses, kertas, makanan ternak, farmasi dan bahan kimia serta industri non pangan seperti tekstil, detergent, kemasan dan sebagainya. Kegunaan tapioka dan turunannya pada industri minuman dan confectionery memiliki persentase paling besar yaitu 29%, industri makanan yang diproses dan industri kertas masing-masing sebanyak 28%, industri farmasi dan bahan kimia 10%, industri non pangan 4% dan makanan ternak sebanyak 1%. Di dalam industri non pangan seperti tekstil dan kemasan, tapioka digunakan sebagai tapioka (Nopianto, 2009).
2.5 Pemutihan Pulp

Menurut Panshin (1957), pulp hasil pemasakan masih kelihatan berwarna gelap. Hal ini disebabkan oleh masih adanya sejumlah zat-zat non selulosa (lignin, hemiselulosa, bermacam-macam zat ekstraktif, tanin dan resin). Sedangkan Calkin (1957) mengatakan bahwa, pemisahan kotoran hanya dapat dilakukan dengan cara pemutihan. Oleh karena itu dengan dilakukannya proses pemutihan pada pulp dapat meningkatkan mutu kertas yang dihasilkan.

Proses pemutihan ialah penghilangan lignin dan zat-zat warna untuk memperoleh pulp putih. Penghilangan lignin dan zat warna ini biasanya dilakukan dengan cara oksidasi, yaitu mereaksikan pulp yang belum diputihkan dengan zat kimia sebagai zat pemutih. Pada kertas koran masih terdapat lignin. Lignin tidak dapat dihilangkan seluruhnya pada saat pemasakan, karena akan menghasilkan pulp dengan sifat fisik rendah (Casey, 1981). Casey (1952), menyatakan bahwa tujuan utama dari pemutihan adalah menghasilkan pulp putih dengan warna yang stabil dan diperoleh dengan biaya yang layak serta akibat kerusakan fisik dan kimia pulp seminimal mungkin. Kondisi umum yang penting dalam proses pemutihan pulp menurut Siagian (1989), adalah jumlah bahan pemutih, konsistensi pemutihan, waktu dan suhu pemutihan.

Terdapat dua reaksi selama pemutihan, yaitu melarutkan dan menghilangkan lignin, dan mengubah lignin menjadi komponen yang tidak berwarna. Pemutihan pulp kimia tanpa melarutkan sisa lignin tidak akan berhasil. Jadi dalam pemutihan pulp kimia lignin harus dilarutkan atau dihilangkan untuk mencapai derajat kecerahan yang diinginkan.
Komposisi kimia, terutama lignin sangat mempengaruhi pemrosesan pulp lebih lanjut (misalnya proses pemutihan). Banyaknya lignin yang tersisa merupakan kriteria penentuan sebagai kertas kualitas yang tidak diputihkan atau untuk kertas kualitas cetak yang diputihkan (Fengel dan Wegener, 1989). Pulp yang tidak diputihkan mempunyai warna gelap (daya terputihkan rendah), yang terutama disebabkan oleh gugus kromofor dalam lignin yang tersisa yang dibentuk selama pemasakan dengan alkali. Bagian-bagian lignin yang terendapkan kembali selama akhir pemasakan alkalis ikut berpengaruh kuat pada harga derajat putih yang rendah (Salmen dan Olsson, 1998 dalam Hidayati, 2000).

2.5.1 Hidrogen Peroksida (H2O2)

Hidrogen peroksida dengan rumus kimia H2O2 merupakan bahan kimia anorganik yang memiliki sifat oksidator kuat. H2O2 tidak berwarna dan memiliki bau yang khas agak keasaman. H2O2 larut dengan sangat baik dalam air. Di alam kondisi normal hidrogen peroksida sangat stabil, dengan laju dekomposisi yang sangat rendah. Hidrogen peroksida banyak digunakan sebagai zat pengelantang atau bleaching agent, pada industri pulp, kertas dan tekstil.

Dence and Reeve (1996) dalam Fuadi (2008) menyatakan bahwa hidrogen peroksida termasuk zat oksidator yang bisa digunakan sebagai pemutih pulp yang ramah lingkungan. Di samping itu, hidrogen peroksida juga mempunyai beberapa kelebihan antara lain pulp yang diputihkan mempunyai ketahanan yang tinggi serta penurunan kekuatan serat sangat kecil. Pada kondisi asam, hidrogen peroksida sangat stabil, pada kondisi basa mudah terurai. Peruraian hidrogen peroksida juga dipercepat oleh naiknya suhu. Zat reaktif dalam sistem pemutihan dengan hidrogen peroksida dalam suasana basa adalah perhydroxyl anion (HOO-)

2.6. Selulosa

Selulosa merupakan komponen terpenting yang terbentuk dari gabungan unit-unit glukosa yang diproduksi oleh pohon melalui proses fotosintesa dengan bantuan sinar matahari. Glukosa itu sendiri dibentuk dengan bahan dasar air dan karbon. Unit - unit glukosa yang dihasilkan bergandengan satu dengan lainnya melalui ikatan polimer yang sangat panjang dan teratur, yang akhirnya membentuk selulosa. Satu unit selulosa bisa mimilki derajat polimerisasi sebanyak 30000. Salah satu contoh selulosa yang sangat sering kita jumpai, yaitu kapas atau katun, terdiri atas 99% selulosa murni, (Erwinsyah, 2008), sedangkan menurut Sjostrom (1995), selulosa merupakan homo polisakarida yang tersusun atas unit ß- D- glukopironosa yang terikat satu sama lain dengan ikatan glikosida (Gambar 1).





Gambar 1. Selulosa
Sumber : Casey, 1960

Fengel dan Wegener (1995) menyatakan bahwa selulosa merupakan bahan dasar dari berbagai jenis produk seperti kertas, film, serat, perekat dan sebagainya.selulosa, pada proses pulping diisolasi dari kayu dengan menggunakan berbagai macam bahan kimia pemasak bersifat asam, basa, netral pada tekanan, suhu dan waktu tertetu sehingga menghasilkan pulp dengan berbagai mutu.
Selulosa diinginkan dalam pembuatan kertas karena :
1. Jumlahnya banyak, melengkapi, mudah dipanen serta diangkut sehingga bahan ini memiliki nilai ekonomis yang rendah.
2. Hampir selalu terdapat dalam bentuk berserat yang memiliki ciri tingkat ketahanan serat yang tinggi.
3. Memiliki daya ikat yang tinggi terhadap air, yang memfasilitasi persiapan mekanis dari serat dan pengikatan antar serat saat campuran dikeringkan.
4. Memiliki warna yang putih alami.
5. Tidak larut dalam air dan pelarut organik netral.
6. Resistan terhadap banyak senyawa kimia yang umum digunakan dalam pemisahan dan pemurnian (Mac Donald dan Franklin, 1969).

2.7 Hemiselulosa

Komponen penyusun utama kayu lainnya, yaitu hemiselulosa. Hemiselulosa adalah polisakarida non selulosa yang pokok, terdapat dalam kayu dengan berat molekul 4000–15.000 (Soenardi, 1976), sedangkan Sjostorm (1981) menyatakan bahwa hemiselulosa merupakan heteropolisakarida yang tergolong polimer organik dan relatif mudah dioksidasi oleh asam menjadi komponen - komponen monomer yang terdiri dari D-glukosa, D-manosa, D-xylosa, L-arabinosa, dan sejumlah kecil L-ramnosa disertai oleh asam D-glukoronat, asam 4-O-metil-D-glukoronat dan asam D-galakturonat.
Menurut Erwinsyah (2008) hemiselulosa juga terbentuk melalui proses fotosintesis dan terdiri atas gula-gula sederhana, seperti galaktosa, manosa, arabinosa dan lain-lain. Ikatan unit-unit molekul polisakarida ini tidak sepanjang ikatan polimer selulosa. Hemiselulosa hanya memiliki beberapa ratus derajat polimerisasi, sedangkan menurut Anonim (2008) rantai selulosa yang lebih pendek tersebut terdapat pada hemiselulosa (glukosa, galaktosa, manosa, xylosa, arabinosa). Karena komponen hemiselulosa yang memiliki sifat seperti selulosa adalah glukosa maka hemiselulosa lebih dahulu terdegradasi dibandingkan dengan selulosa.

Hemiselulosa bersifat non-kristalin dan tidak bersifat serat, serta mudah mengembang. Sehingga hemiselulosa sangat berpengaruh terhadap terbentuknya jalinan antarserat pada saat pembentukkan lembaran, lebih mudah larut dalam pelarut alkali dan lebih mudah dihidrolisis dengan asam (Casey, 1960).

Tabel 2. Perbandingan sifat kimia selulosa, hemiselulosa, dan lignin
Selulosa Hemiselulosa Lignin
a. Tidak larut dalam air

b. Larut dalam larutan pekat asam mineral kuat, seperti larutan 72% H2SO4, 37% HCl, dan 85% H3PO4

c. Terhidrolisis lebih cepat pada temperatur tinggi, tidak larut dalam asam organik

d. Tidak larut dalam larutan alkali hidroksida. a. Sedikit larut dalam air

b. Larut dan terhidrolisis dalam asam mineral




c. Larut dan terhidrolisis
dalam asam organik pekat


d. Larut dalam larutan alkali a. Tidak larut dalam air

b. Tidak larut dalam asam mineral kuat




c. Larut parsial dalam berbagai senyawa organik teroksigenasi


d. Larut dalam larutan alkali encer

2.8. Lignin

Menurut Nugroho dan Rusmanto (1999) lignin merupakan suatu polimer yang berbentuk tiga dimensi dan mempunyai basis unit propilbenzen serta gugus fungsional (hidroksil, karbonil, metoksil). Berbeda dengan selulosa yang terutama terbentuk dari gugus karbohidrat, lignin terbentuk dari gugus aromatik yang saling dihubungkan dengan rantai alifatik, yang terdiri dari 2-3 karbon . Pada proses pirolisa lignin, dihasilkan senyawa kimia aromatis yang berupa fenol, terutama kresol (Anonim, 2007). Ropiah (dalam Nugaraha 2003) menyebutkan bahwa unit dasar penyusun lignin adalah koniferil alkohol, sinapil alkohol dan para kuramil alkohol (gambar 2)










Gambar 2. Unit dasar penyusun lignin
Sumber : Nugraha, 2003


Lignin merupakan zat yang keras, lengket, kaku dan mudah mengalami oksidasi. Dibutuhkan pada kayu dengan tujuan kontruksi karena dapat meningkatkan kekerasan/kekuatan kayu, tetapi tidak dibutuhkan dalam industri kertas karena lignin sangat sukar dibuang dan membuat kertas jadi kecoklatan/coklat karena sifat aslinya dan pengaruh oksidasi ( Batubara, 2002).
Lignin mempunyai hubungan yang sangat intim dengan selulosa dan hemiselulosa, sehingga lignin dapat diibaratkan sebagai pengikat atau berasosiasi dengan kedua komponen kayu lainnya, sehingga suatu pohon bisa berdiri tegak. Lignin sangat stabil keberadaannya dan sulit untuk diisolasi. Saat ini banyak industri menggunakan lignin sebagai bahan perekat (Erwinsyah, 2008).















III. BAHAN DAN METODE



3.1 Waktu dan Tempat


Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biokimia Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung, Labaratorium Analisis Kimia Politeknik Negeri Lampung, dan Laboratorium Kimia, Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung pada bulan November sampai Desember 2011.

3.2 Alat dan Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah rumput laut Euchema cottoni kering, asam asetat, H2SO4, aquades, H2O2, CaCO3, tapioka (pati ubi kayu), kain saring, alumunium foil, serta bahan analisis lainnya.

Alat yang digunakan adalah alat-alat gelas, timbangan, cawan porselin, desikator, corong, oven, shaker waterbath, termometer, hot plate, serta alat-alat analisis lainnya.

3.3 Metode Penelitian

Perlakuan disusun secara faktorial dalam Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) dengan tiga kali ulangan. Penelitian dilakukan meggunakan dua faktor, yaitu faktor pertama adalah konsentrasi hidrogen peroksida (H) yang terdiri dari empat taraf yaitu 0% (H0), 2% (H1), 4% (H2), dan 6% (H3). Sedangkan faktor kedua adalah konsentrasi tapioka (P) yang terdiri dari tiga taraf yaitu 2% (P1), 4% (P2), dan 6% (P3).

Kesamaan ragam data diuji dengan uji Bartlett dan kemenambahan data diuji dengan Uji Tukey. Data hasil pengamatan sifat fisika pulp berbasis ampas rumput laut (Eucheuma cottonii) dianalisis dengan sidik ragam untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan antar perlakuan. Data diolah lebih lanjut dengan uji BNJ 1% dan 5%.

3.4 Pelaksanaan Penelitian

3.4.1 Pembuatan dan karakterisasi ampas rumput laut


Rumput laut Euchema cottoni dilakukan ekstraksi untuk memperoleh ampas rumput laut. Diagram alir ekstraksi ampas dapat dilihat pada Gambar 3.


















Gambar 3. Diagram alir ekstraksi ampas rumput laut


Karakterisasi ampas rumput laut dilakukan terhadap ampas rumput laut Eucheuma cottonii hasil ekstraksi yang dikemudian di analisis sifat kimianya, meliputi kadar air, selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Dan karakterisasi pulp acetosolv dilakukan terhadap pulp hasil pemasakan dan pemutihan untuk mendapatkan konsentrasi H2O2 dan konsentrasi tapioka yang menghasilkan rendemen, derajat putih dan daya regang lembaran kertas terbaik

3.4.2 Pulp acetosolv


Pulp acetosolv dibuat dengan kondisi pemasakan menggunakan perbandingan larutan pemasak : ampas rumput laut (2:1) dimana konsentrasi larutan pemasak asam asetat 80% pada suhu pemasakan 85oC selama 1 jam. Diagram alir pembuatan pulp acetosolv dapat dilihat pada gambar 4.


















Gambar 4. Diagram alir pembuatan pulp acetosolv
Sumber : Ferdiyanto (2011) yang telah dimodifikasi dengan perbandingan larutan
pemasak 2:1


3.4.3 Pemutihan dan pembuatan lembaran


Pulp ampas rumput laut hasil pemasakan secara acetosolv dilakukan pemutihan dengan menggunakan perlakuan perbedaan konsentrasi hidrogen peroksida yaitu 0% (v/v), 2% (v/v), 4% (v/v), dan 6% (v/v). Pulp dipanaskan dengan shaker waterbath pada suhu 85o C selama 1 jam. Kemudian dilakukan pencucian dan pengeringan pada suhu kamar. Pulp hasil pemasakan selanjutnya dicuci dengan mengunakan air dengan suhu 800C, kemudian dilakukan penyaringan, dan setelah itu dikeringkan suhu kamar. Kemudian ditambahkan perlakuan penambahan tapioka 2% (b/b), 4% (b/b) dan 6% (b/b) setelah itu dilakukan pembuatan lembaran kertas. Diagram alir pembuatan pulp dapat dilihat pada Gambar 5.






























Gambar 5. Diagram alir pembuatan pulp bahan baku rumput laut
Sumber : Hidayati (2000), yang telah dimodifikasi dengan penambahan tapioka

3.5. Pengamatan

Pulp yang diperoleh kemudian diuji rendemen dan sifat fisiknya. Sifat fisik yang diuji meliputi rendemen (Datta, 1981), sifat optis (derajat putih) (SNI 14-0438-1989) dan Daya Regang (ASTM, 1983).







3.5.1. Rendemen pulp

Pulp hasil pemasakan ditimbang dalam keadaan basah (A gram), kemudian di ambil contoh pulp sebanyak B gram dan dikeringkan dalam oven suhu 102oC selama 3 jam, dinginkan dalam desikator kemudian dimasukkan kembali ke dalam oven suhu 102oC selama 30 menit, dinginkan dalam desikator dan ulangi pengeringan dalam oven sampai bobotnya konstan (selisih penimbangan  0,02 mg), dan diperoleh C gram. Rendemen pulp dapat dihitung dengan rumus :

C/B x A
Rendemen (%) = x 100
Y

Dimana :
A = Bobot total pulp basah
B = Bobot contoh pulp basah
C = Bobot contoh pulp kering
Y = Bobot pulp sebelum perlakuan (kering)


3.5.2 Sifat optis/derajat putih

Derajat keputihan adalah perbandingan antara intensitas cahaya derajat biru dengan panjang gelombang 457 nm yang dipantulkan oleh permukaan kertas, dengan cahaya sejenis yang dipantulkan oleh permukaan lapisan magnesium oksida. Derajat putih diukur dengan alat brightness tester. Nilai derajat putih pulp dapat langsung dibaca pada alat. Cara kerja:
1) Siapkan contoh uji berdasarkan SNI 14-0696-1989,
2) Simpan contoh uji dalam ruang kondisi sesuai dengan SNI 14-0402-1989, Kondisi ruang pengujian untuk lembaran pulp, kertas dan karton, selama 24 jam.
3) Siapkan contoh uji berukuran 10 cm x 10 cm yang bebas tanda air, noda atau cacat-cacat lainnya.
4) Susun contoh uji dalam satu tumpukan (sampai tidak tembus pandang) dengan sisi yang akan diuji menghadap ke atas.
5) Tambahkan kertas dengan ukuran yang sama di bagian atas dan bawah tumpukan untuk melindungi contoh uji.
6) Hindari contoh dari kontaminasi, pemanasan atau penyinaran yang berlebihan. dan nyalakan alat dan biarkan selama 15 menit untuk pemanasan.
7) Periksa apakah filter yang digunakan sudah tepat.
8) Atur nilai nol alat dengan standar hitam.
9) Kalibrasi standar kerja terhadap standar primer

3.5.3 Daya regang (elastisitas)

Daya regang (elongation) merupakan regangan maksimal yang dicapai oleh kertas sebelum putus diukur pada kondisi standar. Prosedur singkat uji mekanik atau uji elastisitas sampel material ketas atau adalah sbb:

1. Potong kertas dengan bentuk pita persegi pajang dengan ukuran 40 x 2 mm.
2. Nyalakan alat autograf untuk memanaskannya kira-kira 30 menit sebelum alat digunakan.
3. Jepitkan kedua ujung kertas pada alat autograf, setting hingga pada posisi tepat.
4. Tekan tombol ON untuk memulai menarik sampel kertas yang akan diuji.
5. Baca hasil pengukuran dan catat di lembar pengamatan. Data-data yang di dapat sebelum pengujian antara lain : panjang dan lebar pita kertas sampel. Sedangak data yang dibaca dari hasil pengukuran antara lain: tebal, perpanjangan (∆l), gaya (kGf).
Kekuatan regang (stress) menunjukkan besarnya kekuatan material ketika diberi beban tertentu.


F N
T = __ = __ = Pa
A m²


perpanjangan (∆l)
Strain = ___________________
Panjang awal


Gaya x 9.800
Stress = ___________________ (pascal)
Luas sampel



Daya Regang (elastisitas) = ( Gpa)











IV. HASIL DAN PEMBAHASAN



4.1 Karakterisasi Bahan Baku


Bahan baku pembuatan pulp acetosolv dalam penelitian ini adalah ampas rumput laut Eucheuma cottonii. Dalam penelitian ini dilakukan analisis untuk mengetahui sifat kimia yang terkandung dalam bahan. Sifat kimia yang dianalisis yaitu kadar selulosa, hemiselulosa, lignin. Hasil analisis sifat kimia ampas rumput laut Eucheuma cottonii dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Sifat kimia ampas rumput laut Eucheuma cottonii
Parameter Ampas rumput laut
Sampel Pustaka
Kadar selulosa (%) 17,47 16a – 20ab
Kadar hemiselulosa (%) 21,16 18 – 22a
Kadar lignin (%) 8,23 7a – 10b

Sumber : a Riyanto et al (1998)
b Ujiani (2007)


Berdasarkan hasil analisis sifat kimia bahan baku pada tabel di atas menunjukkan bahwa ampas rumput laut Eucheuma cottonii mengandung selulosa sebesar 17,47%, hemiselulosa 21,16% dan lignin 8,23%. Hasil analisis tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil analisis yang telah dilakukan oleh Riyanto et al. (1998) terhadap ampas rumput laut hasil pengolahan agar-agar kertas yaitu menghasilkan selulosa berkisar 16–20%, hemiselulosa 18–22% dan lignin 7–8%. Dengan nilai kandungan ampas rumput tersebut diharapkan berpotensi untuk dibentuk lembaran kertas dan dapat menghasilkan sifat fisik lembaran kertas ampas rumput laut terbaik. Ria (2011) menyatakan dari penelitian mikroskop terlihat ukuran dan bentuk serat agalosa lebih homogen, tidak seperti serat selulosa yang bulat, lonjong, atau pipih. Homogenitas ini yang membuat kualitas kertas lebih baik, lebih fleksibel, lebih halus.

4.2 Rendemen

Hasil analisis ragam (Tabel 5) menunjukkan bahwa konsentrasi H¬2O2 dan konsentrasi pati memiliki pengaruh sangat nyata terhadap kadar rendemen pulp yang dihasilkan. Namun interaksi antara konsentrasi H2O2 dan konsentrasi tapioka tidak berpengaruh nyata terhadap rendemen pulp yang dihasilkan. Untuk itu dilakukan uji lanjut BNJ terhadap main effect. Hasil uji lanjut menggunakan BNJ 5% terhadap main effect pada faktor H (konsentrasi H2O2) (Tabel 9) menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang nyata terhadap kadar rendemen pulp yang dihasilkan, yaitu pada H0 (konsentrasi H2O2 0% atau tanpa penambahan pemutih) dan H1 (konsentrasi H2O2 2%), dengan rendemen pulp pada H2 (konsentrasi H2O2 4%) dan H3 (konsentrasi H2O2 6%) . Kadar rendemen pulp acetosolv pada beberapa konsentrasi H2O2 ampas rumput laut Eucheuma cottonii dapat dilihat pada Gambar 5.














Gambar 6. Rendemen pulp acetosolv ampas rumput laut pada beberapa
konsentrasi hidrogen peroksida


Berdasarkan Gambar 6 diatas, terlihat bahwa peningkatan konsentrasi hidrogen peroksida akan menurunkan kadar rendemen pulp ampas rumput laut yang dihasilkan, penurunannya pun cukup signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa dalam proses pemutihan terjadi reaksi delignifikasi yang menyebabkan lignin terdegradasi. Menurut Mac Donald dan Franklin (1969) dalam Zuidar dan Hidayati (2007) proses delignifikasi yang semakin sempurna akan menyebabkan turunnya rendemen sebagai akibat meningkatnya konsentrasi larutan pemutih. Dence dan Reeve (1996) menyebutkan bahwa selama pemutihan pulp, degradasi pulp dapat terjadi, akibatnya fragmen-fragmen selulosa menjadi terlarut sehingga rendemen pulp yang dihasilkan rendah.

Hasil penelitian Amri (2008) dan Ferdiyanto (2011) juga menyatakan bahwa produksi pulp acetosolv menggunakan konsentrasi pemutih asam perasetat mengalami penurunan nilai rendemen seiring meningkatnya konsetrasi pemutih.
Hasil penelitian menunjukkan, rendemen tertinggi diperoleh dari perlakuan tanpa proses pemutihan (H0). Pada pulp tanpa mengalami proses pemutihan tidak ada komponen kimia yang terurai dan terlarut baik itu selulosa, hemiselulosa, dan lignin sehingga rendemen yang didapat juga tinggi.

Nilai rendemen pulp terputihkan hasil penelitian berkisar antara 53,82-66,17%. Nilai rendemen yang dihasilkan tergolong tinggi. Hal ini terlihat dari hasil penelitian Nimz dan Casten (1986) dalam Ferdiyanto (2011) yang menyatakan bahwa produksi pulp acetosolv menggunakan pelarut asam asetat dan katalis HCl dengan konsentrasi 5%-0,2% pada suhu pemasakan 195oC serta proses akhir pemutihan menggunakan H2O2 dengan konsentrasi 0,5-2% menghasilkan rendemen pulp sebesar 40-60%.

Hasil uji lanjut BNJ 5% terhadap main effect pada faktor P (konsentrasi Tapioka) (Tabel 10) menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata. Kecuali untuk perlakuan P1 (penambahan tapioka 2%) dan P2 (penambahan tapioka 6%). Kadar rendemen pulp acetosolv pada beberapa konsentrasi tapioka dapat dilihat pada Gambar 7. Berdasarkan konsentrasi penambahan tapioka nilai rendemen pulp acetocolv berbanding terbalik dengan peningkatan konsentrasi pemutih. Nilai rendemen berdasarkan hasil penelitian berkisar antara 57-62%. Hal ini menujukkan bahwa adanya peningkatan nilai rendemen yang disebabkan adanya penambahan konsentrasi tapioka.

Penambahan konsentrasi tapioka membantu meningkatkan rendemen pulp. Hal ini diduga karena kandungan karbohidrat yang terdapat pada tapioka. Tapioka dapat menjadi bahan aditif untuk menambah jumlah kandungan karbohidrat dikarenakan memiliki kesamaan unsur glukosa seperti halnya selulosa, sehingga mampu menambah kandungan glukosa pada selulosa pulp dan meningkatkan rendemen.










Gambar 7. Rendemen pulp acetosolv ampas rumput laut pada beberapa
konsentrasi tapioka


4.3. Derajat Putih

Hasil analisis ragam (Tabel 11) menunjukkan bahwa konsentrasi hidrogen peroksida dan tapioka berpengaruh sangat nyata terhadap derajat putih dari lembaran kertas yang dihasilkan, serta terdapat interaksi antara kedua perlakuan. Hasil uji lanjut menggunakan Beda Nyata Jujur 5% menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang sangat nyata terhadap semua perlakuan kecuali pada perlakuan H0P3 (Konsentrasi H2O2 0% Tapioka 6%) dan H2P3 (Konsentrasi H2O2 4% Tapioka 6%) serta H1P1 (Konsentrasi H2O2 4% Tapioka 2%) dan H2P2 (Konsentrasi H2O2 4% Tapioka 4%). Hubungan antara penambahan konsentrasi H2O2 dan konsentrasi tapioka terhadap nilai derajat putih lembaran kertas dapat dilihat pada Gambar 8.










Gambar 8. Pengaruh penambahan konsentrasi H2O2 dan konsentrasi tapioka
terhadap nilai derajat putih lembaran kertas


Dari gambar diatas terlihat bahwa konsentrasi H2O2 dan tapioka memberikan pengaruh nyata terhadap nilai derajat putih lembaran. Penambahan konsentrasi tapioka juga dapat meningkatkan nilai derajat putih lembaran kertas ampas rumput laut. Penggunaan konsentrasi H2O2 pada konsentrasi 2% memberikan nilai kecerahan pada lembaran kertas yang cukup signifikan seiring dengan penambahan konsentrasi tapioka 2%, 4% dan 6%. Namun terjadi penurunan nilai derajat putih dimulai dari konsentrasi H2O2 4%.

Nilai derajat putih lembaran kertas berkisar antara 0-100%, semakin tinggi persentase yang dihasilkan maka warna lembaran kertas semakin putih. Derajat putih pada penelitian ini berkisar antara 20,7-52,3%. Berdasarkan kriteria SNI 14-0091-1998 (kertas koran) derajat putih minimal adalah 55%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pulp dari ampas rumput laut hasil pemutihan pada berbagai konsentrasi belum memenuhi kriteria SNI pulp untuk kertas koran, namun pada setiap peningkatan konsentrasi pemutih mengalami peningkatan nilai derajat putih dan mendekati nilai derajat putih sesuai kriteria SNI kertas koran. Meningkatnya derajat putih pulp diduga karena terjadinya penurunan kadar lignin dan struktur-struktur tak jenuh (kromofor) pada pulp terhidrolisis oleh peroksida dan larut dalam air saat proses pencucian. Menurut Casey (1952) bahan aktif pemutih dalam proses pemutihan pulp dengan peroksida adalah ion OOH- yang berasal dari ionisasi H2O2, ion-ion tersebut menyerang lignin dan bahan-bahan pewarna lain dalam pulp secara selektif.

Dari hasil penelitian ini terlihat adanya ketidakefektifan pemakaian bahan pemutih, sehingga menyebabkan terjadinya penurunan nilai derajat putih pada lembaran yang dihasilkan. Menurut Fuadi (2008), ketidakefektifan pemakaian H2O2 di sini disebabkan oleh adanya beberapa metal ions yang ada di dalam pulp (Fe, Mn dan Cu) yang bertindak sebagai katalisator. Hidayati (2000) menyatakan bahwa perbedaan konsentrasi peroksida berpengaruh nyata terhadap derajat putih pulp ampas tebu. Hasil analisis derajat putih menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi peroksida akan meningkatkan derajat putih, tetapi pada peningkatan yang lebih dari 5% akan menurunkan nilai derajat putih.

Selain pengaruh dari bahan pemutih, tapioka memberikan pengaruh nyata terhadap peningkatan kecarahan (brightness) pada lembaran kertas. Menurut Casey (1981), penambahan tapioka dapat meningkatkan kecarahan (brightness), kemampuan daya cetak lembaran dan ketahanan lipat. Tapioka sebagai tapioka memiliki sifat tidak mudah larut dalam air dan memiliki penampilan fisik warna putih cerah sehingga mampu memberikan sifat cerah pada lembaran kertas yang dihasilkan. Nilai derajat putih merupakan indikasi mutu dari suatu kertas. Semakin tinggi nilai derajat putih, kadar lignin akan semakin rendah dan kualitas kertas akan semakin tinggi.

4.4. Daya Regang

Berdasarkan hasil analisis ragam (Tabel 15) terlihat bahwa pengaruh masing-masing perlakuan dengan penambahan tapioka dan konsentrasi H2O2 , serta interaksinya terhadap nilai kekuatan regang lembaran kertas ampas rumput laut yang dihasilkan adalah sangat berbeda nyata. Hasil uji lanjut menggunakan Beda Nyata Jujur 5% menyatakan bahwa perlakuan H0P3 (Konsentrasi H2O2 0% Tapioka 6%) berbeda nyata terhadap semua perlakuan kecuali terhadap H1P1 (Konsentrasi H2O2 2% Tapioka 4%), H2P1 (Konsentrasi H2O2 4% Tapioka 2%), H3P1 (Konsentrasi H2O2 6% Tapioka 2%) dan H3P2 (Konsentrasi H2O2 6% Tapioka 4%). Dan perlakuan H3P3 (Konsentrasi H2O2 6% Tapioka 6%) berbeda nyata terhadap semua perlakuan kecuali terhadap H2P3 (Konsentrasi H2O2 4% Tapioka 6%). Nilai kekuatan regang lembaran kertas tertinggi adalah pada perlakuan H1P3 (Konsentrasi H2O2 2%, tapioka 6%) yaitu sebesar 1,75 Gpa. Pengaruh penambahan konsentrasi H2O2 dan konsentrasi tapioka terhadap nilai daya regang lembaran kertas dapat dilihat pada Gambar 9.














Gambar 9. Pengaruh penambahan konsentrasi H2O2 dan konsentrasi tapioka
terhadap nilai daya regang lembaran kertas.

Nilai daya regang tertinggi pada penelitian ini mencapai 1,75 Gpa yang telah memenuhi standar nilai daya regang kertas fotokopi sebesar 0.49 GPa (Zulferiyenni, 2002). Daya regang (elongation) merupakan regangan maksimal yang dicapai oleh kertas sebelum putus diukur pada kondisi standar (SNI,1998). Menurut Suyitno dalam Stevany (2010), daya regang putus suatu bahan dihitung dari beban maksimum selama pengujian peregangan sampai bahan menjadi rusak atau putus terhadap luas penampang melintang mula-mula dari sampel. Faktor yang mempengaruhi daya regang antara lain panjang serat, fleksibilitas serat dan ikatan antar serat (Rismijana, 2003).

Berdasarkan Gambar 9, kekuatan regang lembaran kertas sangat dipengaruhi oleh konsentrasi H2O2 dan konsentrasi tapioka. Peningkatan konsentrasi H2O2 yang diberikan akan menurunkan nilai kekuatan regang dari lembaran kertas yang dihasilkan, sebaliknya peningkatan konsentrasi tapioka yang diberikan akan meningkatkan kekuatan regang lembaran kertas. Menurut Ulia (2007), konsentrasi H2O2 yang besar dapat menurunkan kekuatan kertas, kondisi ini disebabkan karena sebagian selulosa ikut terdegradasi bersama lignin sehingga kertas menjadi rapuh. Hal ini didukung juga oleh Edahwati (2009) bahwa pencapaian kekuatan tarik teringgi diperoleh pada perlakuan tanpa penambahan H2O2, sedangkan nilai ketahanan tarik terendah dicapai pada penambahan dosis H2O2 sebesar 3%.

Tapioka sebagai bahan pengikat mampu memperbaiki ikatan antar serat dari ampas rumput laut pada lembaran yang dihasilkan sehingga menutup pori-pori kertas. Hal ini di kemukakan juga oleh Wurzburg (1989) dalam Munawaroh (1998) bahwa fungsi tapioka sebagai bahan aditif kertas akan memperbaiki daya penetrasi minyak dan air pada kertas serta memperbaiki sifat fisik lembaran kertas seperti kekuatan internal dan kekuatan permukaan.








V. SIMPULAN DAN SARAN



5.1 Simpulan


Berdasarkan penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan maka dapat diambil kesimpulan bahwa :
1. Konsentrasi larutan pemutih H2O2 sangat berpengaruh nyata terhadap rendemen, derajat putih dan daya regang lembaran kertas berbasis ampas rumput laut Eucheuma cottonii. Hasil perlakuan terbaik diperoleh pada konsentrasi H2O2 2%.
2. Konsentrasi tapioka sangat berpengaruh nyata terhadap rendemen, derajat putih dan daya regang lembaran kertas berbasis ampas rumput laut Eucheuma cottonii. Hasil perlakuan terbaik diperoleh pada konsentrasi tapioka 6%.
3. Terdapat interaksi antara kedua perlakuan penambahan konsentrasi H2O2 dan konsentrasi tapioka terhadap derajat putih dan daya regang lembaran kertas namun tidak terdapat interaksi terhadap rendemen ampas ramput laut dengan nilai rata-rata derajat putih 52.40 % dan daya regang 1.76 GPa. Hasil perlakuan terbaik diperoleh pada perlakuan HIP3 (Konsentrasi H2O2 2% Tapioka 6%) dengan nilai rata-rata rendemen 60,52%, derajat putih 52,40%, dan daya regang 1,76 GPa.


5.2 Saran

Perlu dilakukan pencarian karekteristik bahan baku ampas rumput laut hasil limbah agroindustri rumput laut agar dihasilkan bahan baku yang berkulitas serta perlu adanya penelitian lebih lanjut dengan penggunaan konsentrasi hidrogen peroksida yang berbeda untuk mendapatkan nilai derajat putih yang memenuhi standar SNI kertas.









DAFTAR PUSTAKA


Amri, Y. 2009. Pengaruh konsentrasi asam perasetat terhadap karakteristik pulp acetosolv dari campuran ampas tebu dan bambu. Skripsi. Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Lampung.

Anggadiredjo. 2006. Rumput Laut. Penebar Swadaya. Jakarta.

Anonim. 2007. Paper Additive. http://technograph.blogspot.com/2007/08/paper-additive.html. Diakses tanggal 7 Agustus 2011
Anonim. 2008. Kertas Masa Depan Dari Rumput Laut Tidak Lagi Dari Hutan. http://tekameli.multiply.com/journal. Diakses tanggal 21 April 2011.
Anonim. 2011. Kertas Masa Depan dari Laut Tidak Lagi dari Hutan. http://bioindustri.blogspot.com/. Diakses tanggal 21 April 2011.
ASTM. 1983. Annual Book of ASTM Standards. American Society For Testing And Materian. Philadelpia.

Batubara, R. 2002. Kayu dalam Kehidupan Manusia. Jurnal Program Ilmu Kehutanan.

Biro Data dan Analisa. 1982. Perkembangan Industri Kertas dan Pulp Di Indonesia dan Dunia. Departemen Perindustrian RI. 131 hal.

Calkin, J. S. 1957. Modern Pulp and Papermaking. Reinhold Publ. New York.

Casey, J. P. 1952. Pulp and Paper Chemistry and Technology. Vol.1 . Inter science Publisher, Inc. New York.

Casey, J. P. 1966. Pulp and Paper : Chemistry and Chemical Technology VI : Pulping and Bleaching. 2nd. New York.

Casey. 1981. Pulp and Paper Chemistry and Chemical Technology. Vol ke-3.
New York: A wiley Interscience Publisher Inc.

Datta, R. 1981. Acidogenic Fermentation of Lignocellulose Acid Yield and
Convertation of Componens. Biotechnol. Bioeng 23, p : 2167-2170.
Dence, C.W. dan D.W. Reeve. 1996. Pulp Bleaching, Principle and Practice.
TAPPI Press. Atlanta, Georgia 9.

Edahwati, L. 2009. Proses Deinkin Kertas Koran Bekas Dengan Menggunakan
Hidrogen Peroksida (H2O2). Jurnal Kimia dan Teknologi, ISSN 0216 – 163X. Hal 322-327.

Erwinsyah. 2008. Mari Mengenal Apa Itu Kayu.
http://www.erwinsyah.info/2008/04/13a.html. Diakses tanggal 21 April 2008.

Erythrina. 2011. Kajian Penggunaan Selulosa Mikrobial Sebagai Pensubstitusi
Selulosa Kayu Dalam Pembuatan Kertas. http://erythrinaszone.blogspot.com/. Diakses tanggal 5 Agustus 2011.

Felton, A. J. 1980. Secondary Fiber Pulping. Third Edition. Vol. I. Jhon Wiley and Sons Inc. New York.

Fengel, D dan Wegener G, 1989. Kayu. Kimia, Ultrastruktur dan reaksi-reaksi. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 730 Hal.

Ferdiyanto. 2011. Kajian Penggunaan Asam Klorida Dan Asam Perasetat Pada
Proses Produksi Pulp Acetosolv Dari Ampas Tebu Dan Bambu Betung. Tesis. Program Pascasarjana Teknologi Agroindustri. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Lampung. 102 hal

Fuadi, A,M. 2008. Pemutihan Pulp dengan Hidrogen Peroksida. Reaktor, Vol 12 No. 2. Hal 123-128

Herminiati, A. 2006. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Balai Pengembangan
Teknologi Tepat Guna. Jakarta.

Hidayati, S. 2000. Pemutihan Pulp Ampas Tebu sebagai Bahan Dasar
Pembuatan CMC. Jurnal Agrosains vol:13 (1). Hal. 59-78

Istini. 1986. Manfaat dan Pengolahan Rumput Laut. Jurnal Penelitian BPPT. Jakarta.

Mac Donald, R.G. dan J.N. Franklin. 1969. The Pulping Wood. 2nd. Ed (1). Mc Graw-Hill Book Company. New York

Munawaroh, F. 1998. Kajian Pengaruh Suhu Dan Waktu Hidrolisis Asam
Terhadap Sifat Tapioka Sagu Termodifikasi Sebagai Surface Sizing. http://repository.ipb.ac.id/ Diakses tanggal 15 Januari 2012

Nopianto. 2009. Tapioka. http://eckonopianto.blogspot.com/2009/04/tapioka.html. Diakses tanggal 5 Agustus 2011
Nugraha, Y.P. 2003. Pengaruh Konsentarasi Larutan Pemasak dan Nisbahnya dengan Bobot Baggase terhadap Rendemen dan Sifat Fisik Pulp Bagase (Acetosolv). Skripsi. Teknologi Hasil Pertanian. Universitas Lampung. 58 Hal

Nugroho, P dan Rusmanto. 1999. Pemilihan Pelarut Organik Etanol dan Asam Asetat Untuk Pembuatan Pulp dari Tandan Kosong Sawit. Jurnal Laboratorium Termofluida dan Sistem Utilitas.

Palupi, N. 1995. Pengaruh Proses Pelapisan ( Pigment Coating ) Dan Komposisi
Serat Kayu Terhadap Mutu Kertas Glasin. Skripsi. Teknologi Industri Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. 131 Hal.

Panshin, A. J., E.R. Harun, J.J Baler dan P.B. Roctor. 1975. Forest Product. Mc Graw Hill Book Company Inc. New York. 1957

Retnowati. 2008. Pemutihan Eceng Gondok Menggunakan H2O2 Dengan
Katalisator Natrium Bikarbonat. Reaktor, Vol 12 No. 1. Hal 33-36.

Ria. 2011. Kertas Rumput Laut. http://dewataart.wordpress.com/category/1/.
Diakses tanggal 5 April 2011

Riyanto,B., Maya W. 2006. Cookies Berkadar Serat Tinggi Substitusi Tepung
Ampas Rumput Laut Dari Pengolahan Agar-Agar Kertas. Buletin Teknologi Hasil Perikanan, Vol IX Nomor 1 Tahun 2006. Hal 47-57.

Rismijana, J., Iin Naomi Indriani., dan Tutus Pitriyani. 2003. Penggunaan Enzim
Selulase-Hemiselulase pada Proses Deinking Kertas Koran Bekas. Jurnal Matematika dan Sains Vol. 8 No. 2, Juni 2003. Hal 67 – 71.

Roliadi, et. al. 2009. Pembuatan dan Kualitas Karton Seni dari Campuran Pulp
Tandan Kosong Kelapa Sawit, sludge Industri Kertas, dan Pulp Batang Pisang. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Bogor. Hal 1-19.

Siagian, R.M. 1989. Teknologi Pemutihan Pulp. Pengolahan Pulp Secara Kimia.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dalam Rangka Alih Ilmu Pengetahuan dan Teknologi lndustri Pulp Kertas dan Papan Serat. Bogor.

Sjostrom, E. 1981. Kimia Kayu; Dasar-dasar dan Penggunaan. Edisi ke 2.
Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 390 Hal.

Soenardi, B. S. F. 1976. Sifat-sifat Kimia Kayu. Cetakan ke- 8. Yayasan
Pembina Fakultas Kehutanan. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. 58 Hal.

Standar Industri Indonesia. 1989. SNI 0438-1989 (Cara Uji Derajat Putih Pulp),
SNI 0091-1998 (Daya regang kertas) Departemen Perindustrian RI. Jakarta.


Stevany. 2010. Daya Regang. http://www.scribd.com/ihalingkar/d/47971604
daya-regang-b4-fix. Diakses tanggal 12 Januari 2012

Sutiya, B. 2002. Kandungan Kimia Kayu Akacia Crassisarpa A. Cunn Ex Benth. Pada Berbagai Umur. Jurnal Buletin Kehutanan (5) : Hal 23-30.

Ujiani. 2007. Kandungan Ampas Rumpit Laut.
http://digilib.its.ac.id/public/ITS-NonDegree-12874-Chapter1.pdf . Diakses tanggal 15 Desember 2011.

Ulia, H. 2007. Alternatif Penggunaan Hidrogen Peroksida Pada Tahap Akhir Proses Pemutihan Pulp. Tesis. Pascasarjana. Magister Teknik Kimia. Universitas Sumatera Utara. Medan. 94 Hal.

Zuidar, A.S. dan S. Hidayati. 2007. Pengaruh Konsentrasi Larutan Pemasak Dan Nisbahnya Dengan Bobot Bagase Terhadap Rendemen Dan Sifat Fisik Pulp Bagase (Acetosolve). Agritek. Universitas Lampung. Vol. 15, No 3.

Zulferiyenni. 2002. Pemurnian Selulosa Buah Nenas Untuk Bahan Dasar Pembuatan Film Selulosa. Tesis. Program Pascasarjana Teknologi Agroindustri. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Lampung.